This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, December 30, 2004

[RESENSI] Menulis Sebagai Pengobatan Alternatif

Pengertian kita tentang pengobatan alternatif biasanya hanya terbatas pada tempat yang bersuasana mistik yang diwarnai asap dupa, perdukunan yang hampir tidak bisa diterima oleh logika, karena memang pengobatan seperti itu dasarnya adalah pengetahuan tradisional. Selain itu pengobatan alternatif dapat juga berarti berupa obat-obat tradisional atau yang langsung diperoleh dari alam, seperti jamu-jamu yang berasal dari tumbuh-tumbuhan ataupun hewan yang dipercaya mampu meningkatkan kesehatan peminumnya. Pengobatan alternatif ini dapat juga berarti pengobatan yang tidak menggunakan cara medis melalui obat-obat yang biasa diresepkan oleh dokter-dokter lulusan fakultas kedokteran.

Di dalam buku Quantum Writing : Cara Cepat nan Bermanfaat Untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis, disebutkan bahwa menulis itu ternyata juga dapat digolongkan menjadi sebuah pengobatan alternatif.
Bagaimana sebuah kegiatan menulis itu dapat menjadi salah satu jenis pengobatan alternatif disebutkan dalam buku tersebut dengan mengutip penelitian yang dilakukan Dr. Pennebaker di Fakultas Psikologi Universitas Southern Methodist dalam bukunya Ketika Diam Itu Bukan Emas. Pengobatan alternatif yang dimaksudkan adalah dengan terapi menulis. Menurut penelitian Dr. Pennebaker, bahwa orang-orang yang mengalami suatu penyakit mental akibat masalah sosial atau mungkin trauma akibat peristiwa yang dialaminya di masa lalu, kemudian berakibat timbulnya penyakit seperti stress, depresi, dan semacamnya, akan menjadi merasa lebih sehat setelah mereka menuangkannya kepada sebuah naskah yang berbentuk tulisan.
Hal ini sudah dibuktikan secara ilmiah melalui percobaan laboratorium, dengan hasilnya yaitu meningkatnya sel darah putih manusia, yang berfungsi sebagai sel pelindung tubuh ketika diserang kuman penyakit. Ini terjadi pada orang-orang tertentu yang diuji sampel darahnya, pada saat sesudah menulis peristiwa atau trauma sosial yang dialaminya. Sel-sel darah putih yang dimiliki setelah percobaan dilakukan akan meningkat jauh bila dibandingkan dengan jumlah sebelumnya.

Padahal sudah banyak orang tahu bahwa belajar menulis itu tidak mudah. Apalagi pada masyarakat Indonesia yang budaya tulis menulis serta budaya membacanya sangat rendah, ditambah lagi sebagian besar dari masyarakat yang lebih menggemari budaya berbicara lisan dibanding dengan budaya menulis dan membaca.

Ini dibuktikan dengan lebih pesatnya penjualan handphone (HP) di Indonesia, yang harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga sebuah buku. Sehingga akibat tidak terbiasa membaca dan menulis membuat jiplak-menjiplak tulisan sudah menjadi hal yang sangat biasa. Biro-biro jasa yang menjual jasa tertentu, khususnya jasa pembuatan skripsi atau tesis yang merupakan salah satu karya ilmiah penting, sangat mudah kita temukan di sudut-sudut kota besar di seluruh Indonesia. Mengenaskan sekali memang Indonesiaku….

Pada bagian pertama buku ini yang terdiri dari tiga bab, Hernowo banyak memaparkan tips-tips tentang bagaimana meningkatkan motivasi dan keinginan untuk memulai suatu kegiatan tulis menulis dan apa yang menyebabkan orang itu berkeinginan melakukan kegiatan tulis menulis. Pada bagian ini lebih banyak dibahas tentang bagaimana mengubah pandangan pembaca, bahwa menulis itu tidak sulit seperti yang dibayangkan, dengan memberikan ide-ide awal kepada para penulis pemula agar dapat segera memulai kegiatan menulis yang bahan tulisannya bisa dimulai dari hasil penggalian tentang “diri” sendiri secara pribadi.

Selama ini belajar menulis dianggap sebagai suatu hal yang tingkat keseriusannya sangat tinggi, ditambah lagi kegiatan ini harus ditopang juga oleh kegiatan membaca yang baik. Kedua hal ini menjadi penyebab kemalasan bagi sebagian orang untuk memulai aktivitas menulis yang harus disertai dengan aktivitas membaca. Jika membaca saja sudah malas apatah lagi memulai suatu karya di bidang tulis-menulis ini. Padahal di kala senggang pasti kita menyempatkan diri untuk sekedar membaca koran, majalah, artikel, atau kegiatan lain. Dan yang lebih serius lagi dalam pekerjaan kita di kantor, tentunya kita tidak asing terhadap surat penawaran barang, surat perintah kerja, memo, surat lamaran dan lain-lain yang merupakan produk tulisan yang sering kita baca.

Sehingga tanpa kita sadari bahwa kegiatan membaca sebenarnya telah menjadi darah daging dari kehidupan itu sendiri, dimana kegiatan sehari-hari yang telah kita lakukan itu sebenarnya merupakan dasar-dasar dari kegiatan menulis. Karena dari kegiatan membaca yang telah dilakukan itu dapat dijadikan sebuah ide yang kemudian dapat kita kembangkan menjadi sebuah tulisan yang bermakna, bila kemudian kita dapat merangkainya dengan apik dan diramu bersama dengan pengalaman pribadi penulisnya.

Tetapi banyak orang tidak tahu bahwa kegiatan menulis itu sama juga dengan kegiatan lainnya. Kita akan bersemangat melakukannya bila kita dapat merasakan manfaat langsung dari kegiatan yang kita lakukan tersebut. Misalnya berolahraga, kita merasa bahwa olahraga tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan kita sehingga guna memperoleh kesehatan yang baik maka kita rutin melakukannya. Begitu pula dalam kegiatan menulis, kita pun harus merasakan manfaat darinya supaya dapat melakukannya dengan semangat.

Jadi, pada buku Quantum Writing ini, khususnya di bab 1, Hernowo mencoba merangsang para penulis pemula dengan metode pendekatan psikologis seorang manusia, bahwa kegiatan menulis itu dapat dirasakan manfaatnya langsung oleh si penulis, yang akhirnya dapat membuat penulis seakan-akan menjadi ketagihan menulis, atau dengan menulis seakan-akan beban yang menyesakkan dada dapat terlampiaskan, atau juga mungkin dapat merasa bahwa menulis itu merupakan kebutuhan pokok sehari-hari, sama seperti juga makan dan minum, yang harus dilakukan terus-menerus setiap hari.

Hernowo juga sangat menganjurkan agar para pemula yang baru mulai belajar menulis senantiasa meluangkan waktunya sekitar lima belas menit per harinya untuk menulis dan juga untuk melakukan kegiatan membaca. Menulis dengan cara mencicil sedikit demi sedikit secara rutin serta membaca materi apa saja yang menarik untuk dibaca.

Pendekatan psikologis juga berarti bahwa dengan menulis kita dapat mengatasi rasa amarah, iri, kelemahan diri, dan kebencian yang ada pada hati kita. Menulis jelas sangat membantu kita untuk mengatasi rasa “sok” tahu kita. Menulis dapat membuat diri kita hati-hati dalam memutuskan sesuatu. Menulis dapat membuat diri kita dapat lebih bijaksana (hal 95). Sehingga dengan menulis, segala penyakit hati yang kadang timbul dalam diri, dapat langsung kita atasi dengan menulis dan pada akhirnya kita akan lebih dekat kepada kehidupan nyata yang membuat kita dapat mengetahui secara mendalam potensi pribadi yang kita miliki serta anugerah-anugerah lain yang telah diberikan oleh sang Pencipta. Mengapa hal ini penting untuk digarisbawahi, sebab pada jaman sekarang ini, penyakit hati sering menjadi sumber dari berbagai macam penyakit jasmani yang diderita oleh seorang manusia modern.

Hal itu telah dibuktikan langsung dengan penelitian yang sangat ilmiah dimana sang obyek penelitian diambil sel-sel darahnya ketika sebelum dan sesudah menulis. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Pennebaker di Fakultas Psikologi Universitas Sothern Methodist menjelaskan bahwa “Orang-orang yang menuliskan pikiran dan perasaan terdalam mereka tentang pengalaman traumatis menunjukkan peningkatan fungsi kekebalan tubuh dibandingkan dengan orang-orang yang menuliskan masalah-masalah remeh temeh” (hal 34).

Pada Bab 2, dengan judul “Perjalanan Menjelajah Diri : Menulis Bagi diri sendiri”, Hernowo bermaksud untuk merangsang pembaca agar menulis bagi diri sendiri saja tanpa memikirkan apakah orang lain bakal berminat membacanya, atau apakah tulisan kita dapat diterima di media. Jadi pada bab ini intinya adalah mengenali diri yang dimulai dengan membuat pertanyaan-pertanyaan. Dan bertanya sebanyak mungkin tentang apa saja yang menyangkut keberadaan kita, termasuk tentang “diri” kita sendiri (hal 61), walaupun pertanyaan itu tidak harus kita jawab. Jadi prinsipnya kita harus bertanya tentang diri kita sebanyak-banyaknya, karena dengan pertanyaan-pertanyaan itulah kita berlatih menulis. Berlatih menulis dengan membuat pertanyaan dimaksudkan untuk merangsang diri kita untuk memunculkan keinginan agar kita terus didorong untuk mengetahui diri kita sendiri (hal.62).

Pada Bab 3, penulis bermaksud untuk lebih menegaskan kembali pentingnya membaca bagi siapapun yang ingin mengembangkan budaya menulis. Mengapa membaca merupakan saudara kembarnya menulis, karena dengan membaca kita dapat memperkaya diri dengan sekumpulan kata-kata. Bila kita sudah mempunyai sekumpulan kata-kata tadi, maka banyak yang kita dapat ungkapkan melalui sebuah tulisan yang apik. Dan tulisan yang apik itu hanya dapat dialirkan dengan makin banyaknya kata-kata yang kita peroleh akibat membaca, jadi ternyata memang “Menulis memerlukan saudara yang siap membantunya. Saudara menulis itu bernama membaca” (hal.103).

[to be continued...]

*Dwinu*

[Judul Buku]Quantum Writing - Cara Cepat nan Bermanfaat Untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis

[Editor] Hernowo

[Cetakan] Pertama, November 2003

[Jumlah Hal] 243 Halaman

[Penerbit] MLC (Mizan Groups)

Tuesday, December 28, 2004

[curhat] Tak Seberat yang Kaukira

Terkadang kita berpikir bahwa apa yang sedang kita alami, ujian yang sedang kita lewati, adalah yang terberat dari yang ada. Adalah yang terberat dari semua. Diri kita, adalah yang paling menderita, hingga tak lagi sanggup kita memikirkan orang lain selain bagaimana berlepas diri dari ujian ini. Lalu, tenggelamlah kita dalam lumpur derita. Hingga berat rasanya untuk meraih pegangan di atas sana, untuk mengangkat diri ini supaya tak berlama-lama terjerat di dalamnya. Tenggelamlah kita.

Hari itu, saya datang ke kantor dengan kedua mata nyaris bengkak. Setelah hampir semalaman menumpahkan air mata sejadi-jadinya, sendirian. Rasanya tidak ada satu pun gairah yang menempel menyertai saat kedua kaki ini melangkah pergi. Dan sesampainya di kantor, saya menahan lidah kuat-kuat. Tak boleh sebersit pun terucap segala keluh kesah tadi malam. Kerja ya kerja. Saya tak ingin mencampurinya dengan permasalahan pribadi. Pasang muka cerah, memaksakan diri untuk selalu tersenyum. Dan hari itu, tak ada satu pun yang menyadari kedua mata ini yang nyaris copot dan kepala kian berdenyut sebab tangis itu terbawa sampai tidur. Tadi malam.

Hari itu, saya menemui seorang teman sedang menahan kesal di hatinya. Baru saja berselisih dengan seorang teman yang lain. Sampai luapan emosi itu tak tertahankan lagi, padahal tak pernah sekali pun saya melihatnya demikian. Saya ingin memaksanya untuk bercerita, ia pun menceritakan. Dengan nada datar, terlalu datar. Malah ditambahi dengan senyum dan cengiran khasnya. Siang hari, sampai menjelang sore, celotehnya tetap berkisar tentang target-target bulanan. Tapi entahlah, saya merasakan dirinya begitu berbeda hari itu.

Pembicaraan ketika presentasi, saya melihat kedua matanya berkaca-kaca, dengan suara nyaris gemetar. Seolah saat itu saya melihat beban berkilo-kilo tergantung di kedua pundaknya, dan entah apa yang kian menyesakkan dadanya. Seolah bila ada tombol ‘on’ yang tertempel di tubuhnya dinyalakan, ia akan segera meledak. Percakapan setelah pertemuan, ia mengatakan bahwa yang ia rasakan sekarang adalah ketidaksanggupan yang amat sangat. Dengan wajah yang dipaksakan tersenyum.

Sungguh, saat itu, saya ingin langsung memeluknya. Dan berkata padanya, “Menangislah! Agar beban itu tertumpah sebagian, supaya hatimu lega, supaya bisa berbagi berat itu kepadaku sebagian.”

Sore hari, setelah menunaikan perjumpaan dengan-Nya. Seorang teman lagi bercerita dengan lancar peristiwa penting yang dialaminya hari itu. Ia harus melepaskan ‘calon’ buah hatinya. Ia harus merelakannya pergi, sebab ditemukan kejanggalan pada perkembangan janin di rahimnya. Ia yang telah menantinya sekian lama.

Tak hanya itu, sederet kisahnya pun tumpah seketika. Yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Sebab tak demikian yang saya dapati dari wajah dan penampilannya sehari-hari. Ia, yang begitu ceria, ternyata menyimpan begitu banyak luka. Ia yang tampak begitu tegar, sore itu, air matanya tumpah juga.

Saya tertegun. Dan saya hanya bisa berkata, “Sabar ya mbak…ini cobaan dari Allah.”

Sesaat setelahnya, saya kembali ingat pada kedua belah mata saya yang masih bengkak. Tak sempat lagi saya rasakan pening di kepala, seorang teman lagi bercerita. Tentang kesulitan-kesulitan yang dialaminya dalam prosesnya mempersiapkan pernikahannya. Yang rasanya bila hal itu menimpa diri saya, tak tahu apalagi yang bisa saya lakukan untuk mengatasinya sendirian. Saya tak tahu harus berbuat apa, kecuali melantunkan doa dalam hati, “Semoga Allah memberinya kemudahan dalam ikhtiarnya ini…”

Mendekati pukul lima, sebentar lagi pulang. Saya nyaris melupakan apa yang telah saya alami semalam. Pun bengkak di kedua mata seperti tak ada artinya. Hari itu, saya mulai dengan berpikir bahwa saya adalah orang yang paling malang plus satu-satunya karyawan kantor yang datang pagi-pagi dengan mata bengkak. Dan saya rasa tak kan sanggup saya berkonsentrasi dengan pekerjaan, apalagi ‘mood’ untuk mendengarkan lagi lebih banyak masalah-masalah yang ada.

Tetapi kenyataannya tak demikian. Tanpa diminta, saya telah menyaksikan ‘penderitaan’ yang juga dialami oleh teman-teman saya. Tanpa diminta, satu per satu mereka bercerita. Dan sampai akhir hari, saya menemukan bahwa diri saya tak lagi merasa menderita.

Seringkali, saya merasakan bahwa setiap kali menghadapi masalah, maka tak seorang pun akan merasakan apa yang sedang saya rasakan. Sepertinya, saya lah satu-satunya orang yang paling menderita di dunia. Tetapi, kemudian saya akan kembali menemukan bahwa saya tidak sendirian. Masih banyak lagi mereka yang merasakan perih yang sama, bahkan lebih.

Seringkali, setiap saya menyadari adanya kesulitan yang dialami orang lain, energi saya yang tadinya nyaris pupus, malah semakin bertambah. Saya tak boleh lemah, sebab ada orang-orang yang lebih menderita. Saya tak boleh lemah, sebab mereka pun membutuhkan saya. Penderitaan mereka, sahabat-sahabat saya, adalah penderitaan saya juga. Penderitaan saya, rupanya tak seberat yang saya kira….


Buat tiga orang yang disebutin di atas,…”Aku sayang kalian!!!”

*vita*
ps. sekedar berbagi, bahwa di balik setiap kesulitan yang kita alami saat ini, ternyata masih banyak lagi orang yang lebih menderita.
--ditulis tgl 25 Oktober 2004--


Friday, December 24, 2004

[curhat] Bukan Hanya Mimpi

Menggenggam pulpen, dengan selembar kertas atau sebuah buku yang terbentang di hadapan, detik atau menit yang lewat tanpa berbuat apa-apa, mengetuk-ngetukkan jari sambil mengerenyitkan kening, serta lintasan-lintasan pikiran yang bolak-balik menahan tangan untuk segera menulis. “Bagaimana memulainya?” “Selanjutnya apa?” atau “Bagaimana cara mengakhirinya?”

Itu semua hampir selalu terjadi pada saya. Walaupun tekad sudah dipatri bulat-bulat, pun niat yang berulang kali mencambuk hati ini untuk segera mewujudkan keinginkan untuk menjadi penulis. Tetap saja produktivitas menulis timbul tenggelam. Layaknya tinta pulpen yang macet tiba-tiba, semangat untuk menulis sesuatu yang tadinya menyala-nyala, seolah padam seketika bila menemui stuck moment. Padahal buku tulis telah terbentang, padahal layar komputer sama-sama memelototi muka saya, seakan lelah menunggu munculnya huruf-huruf yang akan saya ketik. Stuck. Dan hal ini seringkali menenggelamkan segala ide-ide yang padahal baru saja terlintas di kepala. Walhasil, belasan cerpen terlantar tak jelas ending-nya, dan bahkan banyak sekali ide cerita yang muncul tiba-tiba, dituliskan singkat, namun tak berlanjut.

Menghadapi kondisi ini, sekali lagi saya nyaris menyerah untuk meneguhkan mimpi menjadi seorang penulis. Mimpi ya hanya mimpi. Toh tak terkira sudah tulisan saya yang ditolak, ditulis ulang, dibuat baru, dan ditolak lagi, atau tak jelas kabarnya. Bila saat-saat ini terjadi pada tahun-tahun lalu, dan memang terjadi, tentu saya akan cepat-cepat menyudahi mimpi saya itu dan lantas melupakan layaknya sebuah bunga tidur. Tapi apa yang terjadi pada tahun ini, tidaklah sama.

Suatu hari, saya kesal sekali dengan sebuah cerpen yang sedang saya buat. Sebab tiba-tiba saja saya kehilangan ide untuk mengakhiri cerita itu. Padahal telah berlembar-lembar cerpen itu tertulis. Berulang kali dibaca ulang, diperbaiki sana-sini, mencoba mengubah sudut pandang cerita, sambil berharap mendapatkan ide untuk ending cerita, tetap saja gagal. Dan saya jadi begitu malas untuk menulis ide cerpen yang lainnya.

Malamnya, saya sudah melupakan kekesalan saya tersebut. Tiba-tiba saja telepon genggam saya berbunyi. Ada SMS. “Halo, apa kabar? Bln ini banyak lomba cerpen/novel : FLP,depdiknas,lampung,dll. Ayo ikut!” begitu bunyinya. Dari Billy.

Seketika saya langsung ingat cerpen yang membuat saya kesal itu. Bagaimana mau ikut lomba? Orang menyelesaikan satu buah saja susahnya minta ampun! Saya lantas bersungut-sungut, antara kesal sekaligus penasaran ingin ikut lomba.

Di hari yang lain lagi, saya sedang nyaris putus asa dengan cerpen-cerpen yang telah saya kirimkan ke beberapa penerbit dan majalah. Ah, sudahlah. Percuma saja membuat yang baru. Toh yang lama juga tidak ketahuan kabarnya, ditolak atau diterbitkan. Mood menulis pun merosot kembali. Dan hari itu adalah hari Ahad ke sekian saya tak lagi bisa hadir di pertemuan pekanan.

Dua hari kemudian, saya sedang bersiap untuk berangkat ke Bandung guna mengikuti tes editor di salah satu penerbit. Malam hari, telepon genggam saya berbunyi. Secara tak sadar saya melonjak kegirangan selepas membaca isi pesan yang masuk, “Congrats! Cerpennya di ALIA bagus.” Begitu bunyinya. Yang benar saja! Naskah itu sudah hampir setengah tahun lalu saya kirim, dan saya sudah pasrah saja dengan nasibnya. Jadilah dua hari di Bandung itu saya lewati dengan super semangat. Naskah saya dimuat! Walaupun saya belum yakin bila tidak melihatnya sendiri. Kalau tidak diberitahu, saya pun tak lagi berharap-harap dan menengok majalah tersebut. Thanks to Arul!

Mungkin kejadian-kejadian yang saya alami tidaklah begitu istimewa, tapi telah menjadi pompa semangat bagi saya yang nyaris kehilangan mimpi. Entah bagaimana.

Seorang Aan pernah mengatakan, ketika kebetulan chatting dengan saya di internet, bahwa kehadirannya di pertemuan pekanan FLP pasti bisa menambah semangat. Entah dengan membahas materi, atau pun hanya sekedar kumpul dan mengobrol. Apa benar? Saya juga tidak tahu, kan saya jarang datang?! Tapi yang saya tahu pasti, memiliki teman-teman baru di FLP rasanya sudah menyelesaikan sebagian persoalan menulis bagi saya.

Walaupun sekedar membaca milis (yang kadang isinya tidak saya mengerti), atau menerima SMS penyemangat dari seorang Billy dan Aan, teguran dari mbak Dala supaya terus berkarya dan hadir di pertemuan, atau desakan dari teman-teman dekat saya yang tahu-tahu ingin jadi anggota FLP, entah mungkin karena saya tidak sengaja berpromosi kepada mereka.

Rasanya tidak terlalu banyak pertemuan saya dengan para FLP’ers. Pun saya tidak merasa produktif bahkan seringkali merasa minder terhadap yang lain. Tetapi ternyata, perhatian-perhatian kecil yang saya dapat, serta kenyataan bahwa diri saya telah menjadi anggota FLP, menggoreskan sesuatu. Dan hal itu sedikitnya menghembuskan semangat ketika ia berkali-kali akan surut.

Untuk saat ini, saya mengerti satu hal. Bahwa mimpi hari ini harus menjadi kenyataan esok hari. Seperti kata seorang teman FLP,”Keep the spirit! Terus menulis dan jangan putus asa, coz practice makes perfect!”

*Vita*

[kenangan bersama FLP'ers DKI]

Thursday, December 23, 2004

[ARTIKEL] Membaca dan Menulis sebagai Dua Aktivitas-Intelektual

Oleh Hernowo

"Nun, demi pena dan apa-apa yang mereka tulis."
[Al-Quran, Surah Al-Qalam (68): ayat 1]

"Yang mengajari (manusia) dengan perantaraan pena."
[Al-Quran, Surah Al-`Alaq (96): ayat 4]


Membaca dan menulis bagaikan sepasang suami-istri yang, dalam kesehariannya, masing-masing beraktivitas secara komplementer. Membaca akan menjadi kegiatan yang efektif apabila disertai menuliskan hal-hal yang terbaca. Begitupun sebaliknya; menulis akan menjadi kegiatan yang efektif apabila didampingi oleh membaca.
Dua aktivitas intelektual ini---yakni, membaca dan menulis---memang bisa dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Namun, menggabungkan kedua aktivitas tersebut secara bersamaan dan saling mendukung belum tentu dapat dilakukan oleh setiap orang.

Bagaimana caranya agar kita mau dan mampu menjalankan dua aktivitas tersebut secara bersamaan dan efektif? Apakah mungkin kita melakukan hanya satu aktivitas namun terjalankan secara efektif---misalnya membaca saja atau menulis saja? Apabila tidak mungkin,
aktivitas yang mana dahulu yang sebaiknya dijalankan---apakah membaca dulu atau menulis dulu? Bagaimana caranya agar kita dapat membiasakan diri untuk menulis atau membaca, namun hati kita tetap dalam keadaan yang menyenangkan?

Tulisan ini tidak diarahkan untuk menjawab, apalagi memecahkan, pertanyaan-pertanyaan di atas. (Pertanyaan-pertanyaan di atas akan dicoba dipecahkan bersama saat diskusi berlangsung.) Tulisan ini hanya ingin memberikan, insya Allah, sebuah perspektif baru
dalam memandang aktivitas membaca dan menulis. Untuk menjadikan aktivitas membaca dan menulis sebagai dua aktivitas yang saling melengkapi dan mendukung, kita memang memerlukan rumusan-rumusan baru mengenainya.

Ada tiga buku yang akan digunakan sebagai bahan rujukan dalam membahas topik kita kali ini. Pertama, The Accelerated Learning Handbook (Kaifa, Desember 2001) karya Dave Meier. Kedua, The Power of Reading: Insights from the Research (Libraries Unlimited, Inc.,
1993) karya Stephen Krashen. Dan ketiga, Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions (The Guilford Press, 1997) karya James W. Pennebaker.

Membaca dengan Menggunakan “SAVI Approach”

Dalam buku Meier, saya temukan sebuah cara-baru belajar yang memungkinkan seluruh potensi yang ada di dalam diri kita terlibat dalam pembelajaran tersebut. Meier menamakan cara-baru belajar tersebut dengan istilah “SAVI Approach” atau “Pendekatan Gaya SAVI”.
SAVI adalah akronim dari Somatis (bersifat raga), Auditori (bersifat suara), Visual (bersifat gambar), dan Intelektual (bersifat merenungkan). Menurut Meier, apabila sebuah pembelajaran dapat melibatkan seluruh unsur SAVI ini, maka pembelajaran akan berlangsung
efektif sekaligus atraktif. Sebagai contoh kasus, saya akan mencoba menerapkan “Pendekatan SAVI”-nya Meier ini pada saat kita melakukan aktivitas membaca buku. (Perlu kita ketahui bersama bahwa membaca merupakan salah satu bentuk pembelajaran).

Pertama, membaca secara Somatis. Ini berarti bahwa saat kita membaca, kita perlu melibatkan fisik kita. Membaca akan efektif apabila posisi tubuh kita dalam keadaan yang relaks, tidak tegang. Apabila selama membaca, kita mengalami rasa jenuh, cobalah
menghentikan proses pembacaan sejenak, dan gerakkanlah seluruh tubuh kita. Dengan menggerakkan seluruh tubuh kita, insya Allah, pikiran dan perasaan kita akan merasa segar kembali.

Kedua, membaca secara Auditori. Kadang-kadang kita menemui beberapa kalimat yang kita baca yang sulit sekali kita cerna. Atau, pada saat membaca, tiba-tiba kita menemukan baris-baris kalimat yang menarik namun kita sulit berkonsentrasi untuk memahaminya. Apabila
terjadi demikian, cobalah kalimat-kalimat tersebut kita baca secara keras, sehingga telinga-lahir kita mendengarnya secara jelas. Insya Allah, dengan begitu, kita akan dapat lebih cepat dan akurat memahami
kalimat tersebut.

Ketiga, membaca secara Visual. Menurut Eric Jensen---seorang pakar pendidikan yang tekun menelitihubungan learning dan brain---benak kita akan merasa “fun” apabila pada saat pertama kali menyerap
informasi, benak itu diberi informasi dalam bentuk gambar (ikon atau simbol atau ornamen) dan informasi itu memiliki kekayaan warna. Buku yang mampu membuat para pembacanya merasa senang, sebaiknya memang diberi sentuhan visual atau¾dalam bahasa yang
lain---menggunakan bahasa rupa.

Keempat, membaca secara Intelektual. Kata “intelektual” yang digunakan di sini perlu diberi catatan khusus. Arti “intelektual” yang digunakan di sini tidak melulu berhubungan dengan kegiatan berpikir yang kering, melainkan kegiatan menggabungkan atau
merumuskan yang kaya akan nuansa. Ini hanya dapat dicapai apabila kita memfungsikan potensi intelek kita untuk menuju sebuah perenungan yang intens. (Perenungan intens, yang dicapai secara efektif, sama dengan menulis atau---dalam bahasa saya---"mengikat
makna"). Ada kemungkinan, perenungan yang intens ini akan mengarah kepada pemberian makna berkaitan dengan aktivitas membaca kita.


Menulis dalam Sorotan Krashen dan Pennebaker

Pennebaker adalah seorang psikolog dari Universitas Texas. Dia melakukan riset yang berhubungan dengan stres, emosi, dan kesehatan. Dalam bukunya yang, secara bebas, dapat diartikan sebagai “blak-blakan” (opening up), dia mencoba menunjukkan kaitan menulis
dengan kesehatan. Menurutnya, seseorang yang dapat mengekspresikan
dirinya secara sangat bebas secara tertulis, akan tertolong dari serangan depresi. Bahkan, dalam salah satu artikelnya yang berjudul menarik, “Writing Your Wrongs”, Pennebaker menunjukkan bahwa dengan
menuliskan secara total “dosa-dosa” kita atau hal-hal yang membuat kita mengalami trauma, kita akan diantarkan menuju keadaan fisik dan nonfisik yang sehat.

Tak beda jauh dengan Pennebaker, Krashen---seorang peneliti bahasa---menunjukkan bahwa menulis dapat membantu kita dalam memecahkan masalah yang menggayuti benak kita. Bahkan, lebih jauh, secara amat
menarik---dengan merujuk ke pelbagai penelitian tentang kaitan menulis dengan membaca---Krashen membuktikan bahwa tulisan yang baik hanya dapat dilahirkan dari orang yang banyak membaca.

Dua hal penting yang dicatat Krashen dan menjadikan penelitiannya tersebut memberikan makna baru bagi aktivitas membaca dan menulis, adalah, pertama, “writing style does not come from writing, but from
reading” (kekhasan atau kebisaan menulis tidak dibentuk oleh aktivitas menulis, melainkan oleh aktivitas membaca). Di tempat lain, dia bahkan menyatakan secara tegas bahwa “writing quantity is not related to writing quality” (banyaknya menulis tidak
berkaitan dengan kebermutuan menulis). Kedua, “actual writing can help us solve problems and make us smarter” (menulis akan membantu
memecahkan pelbagai masalah dan membuat seseorang bertambah pintar). Di tempat lain, dia juga mengatakan bahwa “language acquisition comes from input, not output; from comprehension, not production”
(penguasaan bahasa berasal dari masukan [pemahaman] bukan keluaran [produksi]).

Nah, sebagai penutup tulisan sederhana ini, saya ingin mengisahkan pengalaman Stephen King. King, seperti kita ketahui, adalah rajanya novel-fiksi horor. Secara sangat impresif, dia menulis buku
berjudul On Writing: A Memoir of the Craft (Pocket Books, 2000). Apa saja yang ditulis oleh King dalam memoarnya itu? Menakjubkan. Sebab King merumuskan secara sangat menarik hal-hal yang berkaitan dengan
membaca dan menulis (yang digali dari pengalamannya sebagai penulis novel kondang) hampir persis dengan apa yang ditulis oleh Stephen Krashen!***


*dari milis FLP*

[ARTIKEL] Tentang Konflik

Oleh : Fithri

Orang tua Harry Potter adalah penyihir dan Harry mewarisi kemampuan mereka. Pada usia sebelas tahun ia dipanggil ke sekolah penyihir. Di sana ia belajar membuat ramuan, menerbangkan barang-barang dan bermain bola di atas sapu terbang. Ia menggunakan mata uang sickle, galleon dan knut. Asramanya bernama Griffyndor dan di sana banyak hantu. Di sana ia juga berteman dengan Ron Weasley yang suka berpetualang dan Hermione Granger yang pandai. Hagrid, penjaga binatang di hutan, juga adalah sahabat Harry.

Kalau Anda adalah JK Rowling, apakah Anda akan merasa semua ini cukup untuk mulai menulis buku Harry Potter?

Mungkin Anda merasa kehidupan Anda teramat sangat unik dan menarik.

Anda tinggal di pesantren dengan ratusan siswa lain yang masing-masing punya kepribadian dan keanehan. Bersama mereka Anda melakukan berbagai kegiatan yang tak mungkin Anda lupakan seumur hidup. Cukupkah itu untuk menulis sebuah cerita?

Anda bekerja di sebuah kilang minyak lepas pantai. Alam kadang-kadang ganas dan kesepian membayangi Anda hampir sepanjang waktu. Cukupkah ini untuk menulis sebuah cerita?

Anda adalah seorang wartawan dan pekerjaan Anda membawa Anda ke dalam bahaya, bencana, duka lara dan kegembiraan. Cukupkah ini semua kalau Anda akan menulis sebuah cerita?

Orang terdekat Anda baru saja meninggal dunia. Hidup Anda berantakan dan Anda tak bisa menyingkirkan semua kenangan bersamanya. Cukupkah ini untuk sebuah cerita?

Maaf, tapi menurut saya, itu belum lagi cukup. Anda masih membutuhkan satu unsur penting lagi. Konflik.

Konflik adalah fondasi sebuah cerita. Penokohan dan plot adalah tembok, pilar dan atapnya.

Tanpa konflik, tulisan Anda tidak memiliki tujuan. Tanpa konflik sulit untuk mempertahankan ketertarikan pembaca terhadap tulisan Anda. Tanpa konflik tulisan Anda hanya akan berbentuk sebuah narasi hambar, seunik apapun latar belakang, plot dan penokohan yang Anda suguhkan. Penanganan dan penyelesaian konflik adalah lahan di mana Anda bisa membuktikan kepiawaian Anda mengolah cerita.

Karena itu, sodorkanlah konflik dalam setiap cerita Anda. Tanpa itu, cerita Anda akan hancur berkeping-keping.[]

*dari milis BCN*

Wednesday, December 22, 2004

[RESENSI] Mengarang? Ah, Itu kan Gampang!

Mengarang itu gampang, itulah judul buku yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Saya membeli buku itu 3 bulan yang lalu ketika saya mulai tertarik dengan dunia penulisan. Dalam bukunya itu Arswendo menulis bahwa yang dibutuhkan untuk mengarang adalah minat dan ambisi terus menerus serta bisa membaca dan menulis. Tentu saja kita tidak akan bisa menulis dengan baik selama kita malas membaca. Membaca dan menulis ibarat sebuah sistem kompleks yang tidak dapat disederhanakan lagi (irreducible complexity).

Hal yang perlu di perhatikan adalah membaca dan menulis yang baik dan benar itu perlu latihan,perlu disiplin dan perlu minat yang tak kunjung habis. Minat dan ambisi seperti rasa cinta, selalu ada, terus mengalir. Hal ini didasarkan pada kepercayaan diri, bahwa dengan mengarang kita melakukan sesuatu yang kita cintai dan kita percaya ada sesuatu yang baik yang akan kita lakukan dengan itu.

Selain minat dan ambisi, kita juga harus mampu dan menyiapkan diri untuk menerima ilham.Walau setiap hari kita mungkin melihat tukang jual obat,tapi kalau kita tidak menyiapkan diri untuk menerima ilham,kejadian itu akan berlalu begitu saja dan kita tidak akan mendapatkan ide apa-apa. Kalau kita siap dengan sikap kita sebagai penulis, kita pasti akan mengamati lebih dalam lagi. Penjual obat ini berasal dari mana, kenapa dia menjadi penjual obat, bagaimana dengan keluarga nya dan segala ragam keunikan yang lain.Setelah mendapatkan ilham maka langkah selanjutnya adalah membuat ide penulisan. Kita mulai menentukan hal apa yang sebenarnya yang ingin ditulis. Toko obatnya? Penjualnya? Pembelinya? Atau hal yang lain. Dalam ide dasar penulisan ini, kita sudah mulai memfokuskan diri pada perhatian yang lebih terperinci.

Saat ini rasanya tak ada kegiatan yang bisa dipisahkan dari membaca dan menulis. Tidak hanya untuk bisa menulis dalam pengertian umum: cerita pendek,novel,drama atau puisi. Melainkan juga bisa menjadi wartawan,korektor,penerbit,perancang teks iklan atau penulis lirik lagu .

Jadi, tunggu apalagi marilah menulis sekarang juga !!!

*Wiwiek*
(Sumber : Mengarang itu Gampang, Arswendo Atmowiloto, Gramedia Pustaka Utama, 2003)

Tuesday, December 21, 2004

[TIPS] 17 Writing Secrets

One author shares his tried-and-true principles for making good writing better.

By Steven Goldsberry

1. Never save your best for last. Start with your best. Expend
yourself
immediately, then see what happens. The better you do at the
beginning,
the better you continue to do.

2. The opening paragraph, sentence, line, phrase, word, title -- the
beginning is the most important part of the work. It sets the tone and
lets the readers know you're a commanding writer.

3. The first duty of a writer is to entertain. Readers lose interest
with exposition and abstract philosophy. They want to be entertained.
But they feel cheated if, in the course of entertaining, you haven't
taught them something.

4. Show, don't tell or editorialize. "Not ideas about the thing, but
the
thing itself." -- Wallace Stevens

5. Voice is more important than image. "Poetry is not a thing, but a
way
of saying it." -- A.E. Housman

6. Story is more important than anything. Readers (and publishers)
care
a lot less about craft than content. The question they ask isn't, "How
accomplished is the writer?" but, "How good is the story?"

7. These rules, pressed far enough, contradict each other. Such is the
nature of rules for art.

8. All writing records conflict. Give the opposition quality attention
and good lines. The power of the the antagonists should equal that of
the protagonists.

9. Shift focus often. Vary sentence structure and type; jump back and
forth in time and place; make a good mix of narration, description,
exposition and dialogue.

10. Be careful of your diction. A single word, like a drop of iodine
in
a gallon of water, can change the color of your entire manuscript.

11. Provide readers with closure. The last sentences of the novel echo
something that happened earlier. Life comes full circle. "If I have a
pistol in my first chapter, a pistol ends the book." --Ann Rule

12. By the end of the work, the conflict should reach some
satisfactory
resolution. Not always a "happily ever after" ending, but something
should be finalized.

13. Revise, revise. You never get it on the first try. Art shows up in
rewriting.

14. Avoid excessive use of adjectives and adverbs; trust the precision
of your nouns and verbs. Verb form: the shorter the better. Avoid
helping verbs and progressives. Avoid passive voice. Avoid cliche and
stock phrases.

15. Be interesting with every sentence. Be brief. Hemingway's first
editor at the Kansas City Star gave him this style sheet: "Use short
sentences. Use short first paragraphs. Use vigorous English. Be
positive, not negative." Hemingway later referred to that list as "the
best rules I ever learned for the business of writing."

16. If you can be misread, you will be.

17. There are no rules for good writing. But: learn, practice and
master
the rules first. "You cannot transcend what you do not know."

[TIPS] Sekilas tentang Menulis Cerpen

Oleh Muhammad Yulius, Redaktur Pelaksana Annida

Sebelum kita berbicara ngalor ngidul tentang teori menulis cerpen, pertama-tama Anda harus percaya bahwa dunia mengarang adalah “rumah yang pintunya selalu terbuka”. Artinya, siapapun Anda dan kapan pun Anda punya motivasi, Anda bisa masuk ke dunia mengarang. Anda percaya? Kalau percaya, silakan lanjutkan membaca modul ini. Jika tidak, lupakan saja...

PERTANYAAN DAN TINDAKAN

1.Dari mana datangnya cerita?

Cerita dalam jenis apa saja (cerpen, novel, novelet, dll) berasal dari sebuah ide cerita. Lahirnya ide cerita membutuhkan perbekalan pada pihak Anda sebagai pengarang, yakni pengetahuan yang cukup dalam tentang manusia dan ketajaman observasi. Tanpa pengetahuan yang cukup tentang manusia dan kehidupannya, Anda tidak mungkin bisa melukiskan tokoh cerita Anda dengan meyakinkan. Dan tanpa observasi yang tajam, Anda tidak bisa melihat apa-apa dari kehidupan di sekeliling Anda, meskipun kedua pelupuk mata Anda terbuka lebar-lebar.

TINDAKAN: Anda harus membuka mata batin Anda. Cari ide itu dengan cara mengamati siklus kehidupan sehari-hari dengan cermat. Anda tidak bisa menunggu ide itu turun dari langit. Misalnya: Anda pergi-pulang ke kampus dengan menumpang bus. Di perjalanan Anda pasti menyaksikan banyak sekali peristiwa. Jangan lewatkan peristiwa-peristiwa itu begitu saja. Carilah, ide cerita apa yang bisa Anda tulis menjadi cerpen.

2.Kalau ide cerita sudah kita dapatkan, lantas bagaimana?

Segera saja tulis. Tetapi seringkali Anda kebingungan untuk memulainya, padahal Anda sudah mendapatkan ide cerita yang lain lagi. Jangan panik, jika ide cerita itu belum bisa Anda tulis dalam bentuk cerita, Anda bisa menyimpannya dalam ingatan.

TINDAKAN: Anda harus menyediakan sebuah ‘buku pintar’, yakni sebuah buku tulis khusus untuk menuliskan ide-ide cerita yang Anda dapatkan. Tulis ide cerita dalam beberapa kalimat. Sewaktu-waktu, bila Anda sudah merasa siap menuliskannya, Anda tinggal kebet saja.

Contohnya: Seorang tua bekas pejabat ingin mencari kegiatan baru, karena ia masih merasa sebagai tokoh penting. Ia selalu ingin bertemu dengan orang-orang penting yang pernah jadi anak buahnya dulu, ikut dalam pertemuan dan pesta-pesta mereka. Suatu hari dalam sebuah pertemuan, seorang wartawan mengambil gambarnya. Pejabat itu merasa sangat bangga dan bertanya kepada si wartawan: “Untuk dimuat di mana?” Dengan menahan geli dalam hati, si wartawan menjawab: “Cuma untuk dokumentasi saja kok, Pak.”

3.Oke, ide cerita sudah punya, observasi juga sudah saya lakukan, saya ingin segera menulisnya menjadi sebuah cerpen. Tapi, saya bingung harus mulai dari mana? Pertama-tama ide cerita perlu dijabarkan menjadi organ-organ cerita.

Organ-organ cerita itu meliputi:

a. Judul
Terserah Anda, mau langsung menulis cerita dulu baru judul atau sebaliknya. Yang jelas, judul harus dibuat menarik tapi tidak kampungan. Judul yang baik berperan seperti etalase toko--buatlah calon pembeli merasa harus masuk ke toko Anda. Judul yang kampungan biasanya memamerkan kehebatan-kehebatan semu, misalnya: Sapu Tangan Berlumuran Darah. Judul ini kampungan karena belum-belum Anda sudah mengumumkan: lihatlah, betapa hebatnya cerpen saya. Pembaca ingin melihat sendiri seperti apa cerita Anda itu, tapi jangan dipersilakan macam begitu.

b. Lead, intro, atau pembuka
Cerita dibuka dengan cara menuliskan satu paragraf kalimat pembuka. Ingat-ingat betul, kalimat pembuka itu harus menarik, supaya rasa penasaran pembaca cerpen Anda yang sudah dimulai dari judul, terus berlanjut. Sebuah lead yang menarik dicontohkan oleh cerpen Kota itu Porak-poranda karya M. Hadirin: Pada hari Sabtu di bulan Juli, rakyat desa Sukarasa dikejutkan oleh sebuah peristiwa yang baru sekali itu terjadi. Dipastikan, setelah membaca lead pendek ini, pembaca bertanya-tanya: apa peristiwa mengejutkan yang barus sekali itu terjadi? Mereka tentu ingin membaca terus.

c. Konflik
Terserah Anda mau menulis cerita tentang apa saja, yang penting Anda tidak mengabaikan konflik di dalamnya. Cerpen tanpa konflik hanya akan jadi teks pidato. Konflik terjadi karena pertentangan kepentingan (baik lawan jahat), misalnya antara polisi dan bandit, antara raja yang zalim dan rakyat yang menderita, atau ketimpangan antara kaya dan miskin. Jadi, tanyalah pada diri Anda, apa konflik calon cerpen Anda? Berapa besar konfliknya?

d. Suspensi atau ketegangan
Jika Anda ingin membuat betah pembaca cerpen Anda, buatlah suspensi atau ketegangan, yakni saat-saat si tokoh cerita menghadapi masalah yang begitu besar, sehingga rasa-rasanya ia tidak akan mampu menyelesaikannya. Efek dramatik dari detik-detik genting ini sangat besar perannya dalam cerita, karena ia sangat kuat merangsang tanggapan emosional pembaca. Tapi jangan lantas mendramatisir cerita. Kalau masalahnya kecil, ya jangan dibesar-besarkan.

e. Karakterisasi tokoh
Di sinilah pentingnya Anda memiliki pengetahuan yang dalam tentang sifat dan karakter manusia. Kalau Anda membuat beberapa tokoh, bagaimana sifat-sifat tokoh itu Anda harus hafal betul. Kalau dia jagoan, jagoan yang seperti apa. Bagaimana cara dia berbicara, berjalan, berpakaian, dll.

f. Dialog
Anda pernah menonton film bisu yang dibintangi Charlie Chaplin? Bagaimana rasanya? Hambar kan? Memang, disebut film bisu karena tidak ada dialog dalam film itu. Semua tokohnya bergerak-gerak saja, tanpa suara. Jika cerpen Anda ingin hidup, maka Anda harus membuat tokoh-tokohnya berbicara. Beberapa fungsi dialog antara lain: memberi informasi tentang nama tokoh, lokasi, mengungkap beberapa segi dari watak tokoh, menunjukkan emosi si tokoh.

g. Fokus
Kalau Anda pernah melihat kameramen teve bekerja, Anda akan tahu apa itu fokus. Sang kameramen akan terus menyorot tokoh utama berita yang diliputnya sampai habis. Dalam cerpen, fokus berarti memusatkan penceritaan pada tokoh dan konflik yang dihadapinya sampai cerpen berakhir.

h. Ending
Ending atau akhir cerita ditulis beberapa paragraf sebelum cerpen berakhir. Terserah Anda, mau memilih happy ending atau unhappy ending. Yang jelas, ending harus benar-benar memberi kejutan dan kesan yang mendalam bagi pembaca. Jangan membuat ending yang sudah bisa ditebak.

4.Oke, saya makin ngerti. Tapi masalahnya sekarang, saya kok masih belum bisa juga menuangkan kata-kata dalam kepala saya ke atas kertas?

Itu masalah kuno. Penyebabnya: kita lebih suka ngomong daripada menulis. Kenapa ngomong lebih mudah daripada menulis? Karena kita bisa meralat setiap ucapan kita kapan saja kita mau. Ngomong umumnya tak memerlukan organisasi kata-kata. Sebaliknya, dalam tulisan kita dituntut piawai mengorganisasikan tiap kata dan kalimat yang hendak kita tulis.

TINDAKAN: kalau masih macet juga, ambil tape recorder kemudian mulailah Anda merekam suara Anda sendiri. Anda narasikan cerita yang mau Anda tulis, sampai tuntas. Jika sudah selesai, perdengarkanlah hasil rekaman Anda itu lalu tulislah.

5.Ya, sekarang saya sudah mulai bisa menulis sampai tuntas. Tapi saya merasa belum puas, sepertinya cerpen saya jelek betul.

Bagaimana ini? Jangan nangis begitu dong. Anda mestinya bersyukur, karena Anda sudah mampu menjalani proses panjang penulisan cerpen Anda. Kalau soal jelek atau bagus, itu relatif. Anda harus ingat satu hal: juri pertama bagi cerpen Anda adalah diri Anda sendiri. Kalau Anda merasa cerpen Anda bagus, ya baguslah cerpen itu. Perkara orang mau bilang jelek, itu soal cocok atau tidak cocok.

TINDAKAN: Anda harus mewajibkan diri Anda untuk membaca cerpen karya orang lain. Tapi bukan untuk dijiplak, melainkan untuk perbandingan. Teruslah menulis sambil mengapresiasi karya cerpenis-cerpenis yang sudah terkenal, supaya khazanah berpikir Anda bertambah luas.

6.Ih, kamu jahat deh. Habis, aku merasa tidak pede dengan karyaku sendiri.

Salah Anda sendiri, kenapa nggak pede. Anda juga harus camkan hal ini: Anda harus yakin bahwa cerita yang Anda tulis adalah cerita yang bagus. Kalau Anda sendiri tidak yakin, bagaimana orang lain mau yakin.

TINDAKAN: Anda mungkin perlu juga bertanya langsung kepada cerpenis yang sudah terkenal itu. Apa suka dukanya menjadi pengarang. Kenapa ia bisa menulis cerpen yang bagus. Asal jangan minta duit saja.

7.Bagaimana dong supaya saya bisa pede dengan cerpen saya sendiri?

Anda harus melakukan hal terakhir yang dilakukan setiap penulis, yakni membaca ulang alias merevisi. Biasakan diri Anda untuk tidak merasa cepat puas dengan cerpen Anda. Begitu Anda selesai menuliskannya, baca ulang sampai beberapa kali, sampai Anda merasa cerpen Anda sudah ‘bunyi’.

TINDAKAN: Kalau Anda sudah berhasil merampungkan cerpen Anda, ada dua pilihan: membaca ulang pada saat itu juga, atau mengendapkannya dalam beberapa hari. Kedua-duanya punya kelebihan dan kekurangan. Satu cara lagi: suruh orang-orang terdekat Anda (adik, kakak, ibu, bapak, om, tante, embah kakung, eyang putri…) membaca karya Anda. Biasanya, mereka punya penilaian yang jujur.

8.Oke deh, saya mulai mengerti. Saya ingin menulis terus, tak pernah bosan. Bantu saya ya?

Jangan cuma ngomong, Anda harus buktikan sendiri kata-kata Anda itu. Tak ada seorang pun yang bisa membuat Anda menjadi seorang penulis cerpen, kecuali diri Anda sendiri. Berusahalah tanpa kenal lelah. Ingat-ingat selalu: tak ada sebuah sekolah pun yang bisa menghasilkan seorang cerpenis.

TINDAKAN: Buatlah target menulis. Tidak perlu muluk-muluk (misalnya sehari satu cerpen). Okelah, tanpa mengikuti pelatihan ini pun, Anda sudah bisa menulis cerpen.

Wallahualam bisshawab.


Sekilas Tentang FLP Bekasi

Pendahuluan

Forum Lingkar Pena (FLP) Bekasi adalah salah satu cabang Forum Lingkar Pena yang baru saja didirikan kembali. Pendirian kembali salah satu cabang organisasi kader kepenulisan ini dilakukan pada tanggal 26 September 2004, bersamaan dengan kegiatan Workshop Penulisan Fiksi FLP Bekasi yang bertempat di Ruang Arafah, Islamic Center Bekasi. Kegiatan tersebut menghasilkan sekitar 60 orang anggota baru, dan komitmen bersama sekitar 17 belas orang untuk menjadi Tim Panitia Khusus perintisan kepengurusan.

Pengurus

Penasehat:
1. Aki Junus
2. Komarudin Ibnu Mikam

Ketua:
DH Devita

Sekretaris:
Rahmawati M

Humas:
MD Gavin

Tim Adhoc:
1. Nadiah Abidin
2. Naila
3. Qorina Almatien
4. Wiwiek Sulistyowati
5. Maulana
6. Adnan

Target Organisasi tahun 2004/2005

1.Anggota memiliki dasar dan wawasan kepenulisan serta nilai-nilai universal.
2.Menerbitkan minimal 1 buah antologi cerpen FLP Bekasi.
3.Ikut dalam gerakan kampanye membaca dan menulis melalui kerja sama dengan berbagai pihak.
4.Menjalankan pertemuan rutin anggota minimal satu kali dalam sebulan.

Program-program

1.Bank Naskah, yaitu pengumpulan naskah cerpen, puisi, novel, serta bentuk tulisan lainnya untuk diterbitkan atau disalurkan ke media massa.
2.Pertemuan Rutin Anggota, yaitu pertemuan yang dilakukan minimal satu bulan satu kali untuk memberikan wawasan dan sebagai ajang diskusi antar anggota.
3.Bulletin FLP Bekasi, sebagai sarana komunikasi antar anggota.
4.Program Insidental, yaitu program-program lain yang ditentukan untuk diadakan melalui rapat pengurus.

*hasil rapat Tim Pansus FLP Bekasi, 10 Oktober 2004, di DAKTA FM

FORUM LINGKAR PENA

Pendahuluan

Berawal dari pertemuan informal beberapa alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia, terlontar keprihatinan terhadap minimnya minat pemuda/pemudi kita dalam bidang membaca dan menulis. Bincang-bincang tersebut terus berlanjut dan sampai pada kenyataan semakin mendesaknya kebutuhan umat akan bacaan yang aspiratif, obyektif dan bertanggung jawab. Di sisi lain sebenarnya cukup banyak paramuda yang mau berkiprah di bidang kepenulisan, tetapi potensi mereka kerap tak tersalurkan atau intensitas menulis masih rendah, di antaranya karena tiadanya pembinaan untuk peningkatan kualitas tulisan.

Lalu muncul ide untuk mendirikan suatu kelompok (kader) penulis. Maka lahirlah Forum Lingkar Pena (FLP). Dengan mengambil lambang pena yang melingkari bumi, Forum ini memiliki semboyan: Berbakti, berkarya dan berarti.

Forum Lingkar Pena resmi berdiri 22 Februari 1997, diketuai Helvy Tiana Rosa. Sejak Juni 2000, FLP menjadi mitra dari Ummi Group (Majalah Annida, Ummi dan Saksi) dan menegaskan keberadaannya sebagai forum yang anggotanya menjadikan menulis sebagai salah satu proses mencerahkan ummat. Juni 2001, para fungsionaris Forum Lingkar Pena sepakat untuk menjadikan FLP sebagai salah satu badan otonom Yayasan Prakarsa Insan Mandiri (PRIMA).

Dasar Pemikiran

1. Siapa yang menguasai informasi, dialah yang menguasai dunia.
2. Pena (tulisan) adalah sarana menyeru yang ampuh dan efektif.
3. Perlunya wadah yang dapat mengorganisir dan mengoptimalkan potensi para penulis.

Visi

Membangun Indonesia cinta membaca dan menulis serta membangun jaringan (kader) penulis berkualitas di Indonesia.

Misi

1.Menjadi wadah bagi (calon) penulis yang berpotensi.
2.Meningkatkan mutu dan produktivitas (tulisan) para anggotanya sebagai sumbangsih berarti bagi masyarakat.
3.Turut membangun citra pers yang obyektif dan bertanggung jawab.
4.Turut meningkatkan budaya menulis dan membaca, terutama bagi paramuda Indonesia.
5.Menjadi organisasi kader yang mempersiapkan ‘penulis pelapis’ dan selalu memunculkan penulis baru dari daerah di seluruh Indonesia.

Kegiatan/ Program Kerja

1. Mengadakan pertemuan rutin (mingguan, bulanan) bagi para anggotanya dengan mengundang pembicara tamu dari kalangan sastrawan, jurnalis, cendekiawan, dll.
2. Mengadakan diskusi/seminar tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kepenulisan atau situasi kontemporer.
3. Mengadakan workshop penulisan fiksi/non fiksi
4. Menerbitkan buletin dan majalah.
5. Membuat skenario teater, sinetron, film, dll.
6. Penerbitan karya para anggota
7. Kampanye Gemar Membaca dan Menulis ke SMP, SMU dan pesantren di Indonesia secara berkala.
8. Kampanye “Sastra untuk Kemanusiaan” dalam bentuk penerbitan buku dan sebagainya
9. Mengadakan kajian keislaman bagi para anggota dan masyarakat umum.
10. Pendirian dan pemasyarakatan Pondok Cahaya (Pondok baCA dan Hasilkan karYA)
11. Pemberian FLP Award, dll.

Stuktur Kepengurusan

Ketua Umum: Helvy Tiana Rosa
Ketua I: Asma Nadia.
Ketua II: Halfino Berry
Sekjen: Rahmadiyanti Rusdi
Sekretaris: Ina Agustiana
Bendahara: Ika Nurika

Keanggotaan:

Keanggotaan Forum Lingkar Pena terbuka bagi siapa saja, berdomisili di seluruh Indonesia (atau tengah sekolah di luar negeri), mempunyai minat yang besar terhadap tulis menulis. Saat ini FLP memiliki lebih dari 4000 anggota di seluruh Indonesia, 700 di antaranya adalah penulis dan 300 di antaranya pernah meraih penghargaan dalam berbagai lomba penulisan tingkat provinsi, nasional bahkan internasional. Kebanyakan anggota FLP adalah pelajar, mahasiswa, pegawai negeri, karyawan swasta, buruh, petani, ibu rumah tangga, guru, jurnalis, pengarang dan paramuda peneliti. Mereka tersebar di 33 provinsi, sementara kepengurusan wilayah terdapat di 28 provinsi Indonesia (terlampir).

Sekretariat Pusat:

Jl Merapi Raya no 44 Depok Timur 16417
Telpon: 021-77832571. Fax: 021- 7704207
Email: lingkarpena@yahoo.com,
Web site: www.lingkarpena.org (masih dalam konstruksi).
Milis: forum_lingkarpena@yahoogroups.com

Penutup

Beberapa komentar tentang FLP

Para anggota Forum Lingkar Pena tidak hanya mampu menulis dengan baik,
tetapi juga menerbitkan karya-karya mereka dan... laku. Mereka sangat
fenomenal. Forum Lingkar Pena adalah hadiah dari Allah untuk Indonesia.

(Taufiq Ismail)

Forum Lingkar Pena adalah sebuah 'Pabrik Penulis Cerita' (Koran Tempo)

Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia dan para kerabat Forum Lingkar Pena membawa
fenomena baru dalam penulisan sastra dakwah kontemporer di
Indonesia...karya-karya Forum Lingkar Pena juga mendapat perhatian dan
penghargaan dari para peminat sastra....
(Republika)

Forum Lingkar Pena dan para anggotanya telah membawa genre baru dalam
sejarah sastra dan penulisan di Indonesia.
(Majalah Amanah)

In 1997, Helvy Tiana Rosa co-founded the Forum Lingkar Pena, which groups
readers, writers and wannabes around the country. The group organizes
workshop, trainings and reguler meetings to encourage new writers. Of it's
3500 members, 500 have been published in local media....
(The Straits Times)

Harus diakui bahwa Forum Lingkar Pena telah banyak memberikan sumbangsih
dan kontribusi dalam dunia kesusastraan Indonesia....
(www. Cybersastra.net)