This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, May 26, 2005

[CURHAT] Oleh-oleh dari Bali

Sore itu begitu melelahkan. Rasanya ingin cepat-cepat sampai di penginapan, mandi, dan istirahat. Wah, pasti tak terkira nikmatnya! Kalau saja tak ingat permintaan kedua adik manis yang kutemui siang tadi, pasti kantuk yang menyerang akan berakhir lelap hingga malam.

Masih dengan songket india yang membelit pinggang hingga kaki, hak sandal manik-manik hitam yang kukenakan membawaku mundar-mandir sambil celingukan ke seluruh penjuru ruangan. Sampai kira-kira satu jam sebelum acara berakhir, handphone-ku bergetar,

"Mbak, tunggu Aya sampai datang ya, please...Aya kangen banget, pokoke jangan pulang dulu"

Satu jam lewat, akhirnya si cantik itu datang bersama seorang lagi kawannya. Aya dan Novi, dua orang anggota FLP Bali. Ini kali kedua kami bertemu, sebelumnya di Munas FLP di Kaliurang, Yogya. Kangen. Sepertinya lelah itu terusir pelan-pelan.

"Mbak, kapan bisa ketemuan dengan anak-anak FLP Bali?"
"Wah, iya ya?! Kalian kapan ada pertemuan? Maaf ya, kemarin nggak sempat. Ada acara keluarga sampai malam."
"Sore ini aja, Mbak. Kami ada rapat evaluasi di DSM (Dompet Sosial Muslim)."

Aku terkesiap. Ups, sore ini? Belitan songket hijau muda itu terasa semakin kuat, menjalarkan pegal-pegal ke seluruh bagian kaki. Rasanya badan ini akan remuk, mengingat tadi malam baru selesai acara pukul sebelas malam, mengantarkan seluruh tamu pulang dari rumah mertua. Fiuh! Tapi kalau tak hari ini, kapan lagi?

"Oke deh, nanti sore. Pukul berapa mau jemput?"

Senyum lebar menghiasi wajah Aya. Duh, jadi tambah semangat. Biarlah, lelah itu menanti sebentar lagi.

Sekitar pukul 4, Novi sudah stand by di atas motornya di depan KFC Kuta Square. Wah, naik motor, diboncengi akhwat pula. Jantung ini seketika menghentak-hentak. Kabarnya si manis ini suka ngebut pula. Hup, baca bismillah saja...

Pertemuan dengan pengurus FLP Bali yang direncanakan di kantor DSM Bali, akhirnya harus berpindah tempat ke Mushola Tawakkal. Musholla bertingkat yang sering digunakan untuk acara-acara pengajian, atau sehari-harinya digunakan sebagai TK atau SDIT. Sampai di tempat parkir di depan mushola, terlihat tiga sosok laki-laki, yang rasanya familiar sekali. Wah, ini pasti FLP'ers Bali yang kulihat dari jauh di gedung tadi siang. Masih dengan seragam yang sama, jaket mahasiswa dan celana panjang.

"Maaf, Mbak. Tempatnya harus pindah. Ternyata mushola dipakai ibu-ibu pengajian."

Duh, Novi. Si manis itu harus mengantarku dan kemudian menjemput Aya untuk sampai di DSM, tempat kami akhirnya memulai pertemuan. Terengah-engah, pukul lima sore. Bayang-bayang keletihan ternyata tak hanya menggelayut di wajahku. Toh mereka juga dalam kondisi yang sama.

Akhirnya, dimulailah. Pertemuan seru selama kurang lebih 2 jam, dengan jeda shalat maghrib. Hanafi, sang Ketua FLP Bali, tak henti-hentinya bertanya ini-itu, macam interograsi saja. Mereka, para ikhwan itu, duduk berjejer di hadapanku, Aya, dan Novi. Niat hati ingin menggali informasi dan mencari inspirasi dari aktivitas dan deklarasi yang baru dilangsungkan FLP Bali. Tapi akhirnya harus menyerah juga, biarlah mereka berpuas-puas dulu. Mulai dari Hanafi, Ali, Didi, sampai Aya dan Novi, semuanya melontarkan berbagai pertanyaan. Mulai dari FLP Bekasi sampai Eramuslim. Sharing, sekaligus jadi bahan evaluasi untuk diri sendiri juga. Sudah sejauh manakah kiprah FLP Bekasi?

Pengurus FLP Bali hanya terdiri dari 6 orang, yang mengaku belum patut disebut sebagai penulis. Kehadiran mereka di Munas kemarin rupanya telah menimbulkan semangat yang begitu besar (pun terlihat dari berapi-apinya Hanafi menerangkan ini itu) untuk membangkitkan kembali FLP Bali. Mereka mencoba mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh FLP Yogya, termasuk soal struktur kepengurusan hingga kegiatan yang akan dilakukan, dan ingin menjadikan FLP Bali seperti FLP Kaltim, yang telah mengakar hingga ke masyarakat. Terbukti dari upaya mereka untuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Termasuk dengan DSM Bali, yang telah merelakan tempatnya dijadikan 'basecamp' atau tempat pertemuan bagi para FLP'ers ini. Sebuah kerja sama yang cukup baik, FLP Bali turut andil dalam pembuatan dan pengelolaan majalah yang akan diterbitkan oleh DSM Bali dalam waktu dekat ini.

Hanafi dan Novi menceritakan panjang lebar bagaimana mereka melakukan audiensi ke beberapa pihak, di antaranya Diknas (yang kini katanya sudah mengakui keberadaan FLP Bali), MUI, sampai ke Bank Syariah Mandiri cabang Bali. Subhanallah...terharu, dan rasanya semangat itu terpompa kembali ke dalam benak ini. Termasuk rasa malu yang diam-diam merayapi hati. Mereka, adik-adik tercinta itu, dengan segala kesibukan dalam aktivitas belajar dan organisasi, ternyata pun telah terjun bekerja mencari maisyah, dan kini menambahnya dengan menjadi pengurus FLP Bali. Subhanallah...subhanallah.... Saat itu, rasanya ingin cepat-cepat pulang ke Jakarta kemudian menelpon mbak Rahma dan Wiwiek!

Menjelang pukul 7 malam, pertemuan diakhiri. Dibekali semangat serta banyak sekali ide di kepala ini, dan tak ketinggalan, selembar kartu nama Hanafi-sebagai pengurus FLP Bali! Kartu nama? Wah, sampai lupa menukarnya dengan kartu nama sendiri. Tercengang cukup lama. Duh, subhanallah…berkali-kali kubisikkan dalam hati. Jadi teringat komentar Hanafi mengenai FLP Bekasi yang harus menyewa tempat hingga sekitar dua ratus ribu per hari, “Dua ratus ribu? Itu sih murah, Mbak.”

Jadi tersenyum sendiri. Begitulah. Bila ada semangat dan kemauan untuk maju, mungkin segalanya akan terasa mudah dan pasti bisa dilalui.

Wednesday, May 18, 2005

[info] Pertemuan Muda, Ahad 15 Mei 2005

Alhamdulillah, Ahad tanggal 15 Mei 2005 kemarin pertemuan kelompok Muda FLP Bekasi telah dilaksanakan dan berjalan cukup lancar.

Peserta yang hadir sekitar 15 orang, termasuk saya dan mbak Rahma (betul kan, mbak?). Ada beberapa 'wajah baru' yang bikin pertemuan jadi tambah ramai. Beberapa orang yang memang minggu sebelumnya telah menghubungi saya via telepon atau sms rupanya menepati janji untuk datang.

Ada Hadi, karyawan Pemda Bekasi, asal Lampung. Beliau ini yang menelpon saya malam-malam, dan bercerita panjang lebar mengenai keinginannya untuk jadi penulis dan hobinya membaca novel. Mudah-mudahan pertemuan kemarin bisa nambahin semangat ya, Hadi.

Ada Christian, dari Kampung Dua. Beliau ini aktivis teater loh! Sudah sekitar 7 tahun berkecimpung di dunia teater, dan sempat menulis naskah/skenario film, tapi belum sempat difilm-kan. Wah, modal yang cukup lumayan untuk jadi penulis ya, Chris!

Ada Herti, sepertinya si mbak ini tahu FLP Bekasi dari blog-nya FLP Bekasi ya. Hehehe. Walau datang terlambat, tapi mudah-mudahan bisa mengikuti pertemuan dengan baik.

Ada Yenni dan Nia. Nia sudah hadir di pertemuan Madya bulan kemarin, dan keduanya pun hadir saat pertemuan Muda bulan kemarin, yang tidak berjalan efektif itu. Yenni sempat sakit typhus ya? Tapi alhamdulillah kemarin sudah sehat dan bisa hadir. Ada persamaan nih antara Yenni dengan Adnan, keduanya sama-sama penggemar Rumi, kata Nia. Wah, bisa nyambung lah kalau ngobrol ya?!

Ada bu Juariah dan anaknya yang cantik, Isma. Sebenarnya yang ingin ikutan itu Isma, tapi karena masih malu-malu, akhirnya sepanjang pertemuan, bundanya lah yang lebih banyak bicara.

Tema pertemuan kemarin adalah mengenai "Menggali Ide". Dengan segala keterbatasan, diadakan simulasi penulisan 'ide' dalam bentuk satu paragraf cerpen, dan kemudian paragraf ide tersebut dibahas bersama. Karena waktu yang sempit, sampel yang diambil hanya sedikit. Yaitu dari tulisan Hadi, mbak Nita, dan bu Juariah. Seru juga.

Hadi menuliskan ide mengenai pelecehan Alquran di penjara Guantanamo. Cukup banyak juga yang menanggapi dan berusaha menggali ide yang belum disampaikan pada paragraf pembuka tersebut. Sempat juga membahas sedikit mengenai diksi, terkait dengan tanggapan dari Nia mengenai paragraf awal yang 'kurang greget'.

Bu Juariah menulis mengenai 'seorang istri nelayan yang suaminya berlayar hingga ke Aceh dari pulau Jawa dan hilang terbawa tsunami'. Setelah bu Juariah membacakan paragrafnya, si kecil Isma langsung menyahut, "Kenapa musti sampe ke Aceh? Kenapa bisa ke Aceh?" Wah, kritis banget si kecil ini ya. Pada 'calon cerpen' bu Juariah, kami sedikit membahas mengenai kelogisan cerita.

Mbak Nita, si penulis cerita anak, berusaha menggali ide mengenai 'ikan pepes yang hilang'. Unik dan lucu. Naila bahkan sempat mengusulkan, "Gimana kalo dibuat novel misteri/petualangan aja?" Hehehe...

Pertemuan diakhiri dengan PESTA KUE TART. Asli buatan bu Juariah. ENAK BANGET GITU LOOOHH...!!! Duh, yang nggak dateng super rugi berat deh pokoknya.

Sekian dulu laporannya, see u all on the next meeting yah!!!


-Vita-

Friday, May 06, 2005

[curhat] Yang Tersisa bukan Berarti Sampah!

“Karya-karya FLP tidak akan membuat pembacanya tersesat. Ini sebuah jaminan ! Karena setiap penulis FLP memiliki tanggung jawab moral untuk setiap karyanya. Penulis FLP tidak hanya harus pandai menulis, pintar berimajinasi, tetapi ia harus memahami Islam secara menyeluruh.” Suara lantang mba HTR (kurang lebih seperti itu bunyinya) di setiap workshop kepenulisan yang saya ikuti, tiba-tiba memecah konsentrasi saya di saat mencoba untuk menangkap ‘ikan-ikan’ yang ada di ‘kolam’nya Bapak Hernowo (Buku Mengikat Makna; Kaifa). Duh, tiba – tiba saya merasa berat. Berat di hati, berat di otak. Jujur, Saya nekat menceburkan diri ke FLP karena ingin mencari makanan rohani tanpa harus merasa diceramahi atau didakwahi. Tapi siapa sangka, ternyata di FLP, Saya juga harus bertanggung jawab untuk memberi makan rohani orang lain !

Lalu saya gerakkan jemari sambil menghitung dan mengingat perjalanan waktu dari bulan September tahun 2004 sampai hari ini, 29 April 2005 Pkl. 22.30 WIB. Tujuh bulan Saya selalu hadir di pertemuan FLP Bekasi. Bahkan rela untuk tidak berkata jujur pada atasan di kantor, hanya untuk ikut-ikutan menahan kantuk dan merasakan dinginnya Kaliurang dalam MUNAS FLP beberapa waktu lalu ! (Boys n girls… don’t do this anymore…!) Dan di setiap pertemuan itu pula selalu saya temukan berjuta kekaguman! Saya selalu terkagum dengan FLP’ers yang di setiap kehadirannya selalu membawa sebuah maha karya, kagum dengan Flp’ers yang terus bersuara untuk mendapatkan kepuasan ilmu. Saya kagum dengan FLP’ers yang seakan–akan kepalanya tidak pernah kosong dengan ide dan saya terkagum dengan FLp’ers yang telah memberikan hatinya untuk FLP Bekasi.

Tapi saya melihat diri saya seperti sesuatu yang tersisa di FLP Bekasi. Bayangkan, kehadiran saya di FLP Bekasi selama 7 bulan ini - belum lagi ditambah dengan kehadiran saya di Workshop Kepenulisan di luar FLP - belum ada sebuah karya pun yang berani saya tunjukkan ! (Contoh bagus omongannya Bang O. Solihin nih… hehehe). Setiap pembahasan mengenai kelemahan penulis pemula, pada saat itu pula saya melihat bahwa semua contoh ada pada diri saya. Tak perlu bicara ada berapa kelemahan, tapi satu kelemahan maha dasyat yang dibicarakan namun tidak mau dibahas oleh Bang Bayu Gautama pun ada pada saya : M A L A S (bang Bayu nyerah enggak mau ngebahas karena obatnya g dijual bebas: cuma ada di dalam hati penulis itu sendiri), Namun pernah pada suatu malam, betapa senangnya saya hanya karena sudah bisa mencoret ketergantungan saya dengan sebuah komputer (maksudnya saya MALAS menulis dengan alasan tidak ada komputer di rumah!) dari isi “daftar halangan menulis”. Dengan semangat, saya mengirim sms ke seorang FLP’ers hanya untuk menceritakan bahwa saya sudah bisa menulis hanya bermodalkan kertas HVS kosong dan pulpen seharga tiga ribu rupiah! Hanya masalah sepele ya? Tapi jujur, memang itu yang saya rasakan.

Saat ini, saya sedang mencoba menulis 2 buah cerpen, salah satunya tentang pernikahan di mata 2 orang cowok yang berbeda. Bukannya mandeg nulis, tapi layaknya ciri seorang penulis pemula yang mencari kesempurnaan ditambah lagi ucapan Mba HTR tentang tanggung jawab moral, saya berpikir untuk menunda cerpen itu dulu. Saya butuh lebih dari sekedar imaji. Kata bapak Hernowo, saya harus melejitkan kemauan dan kemampuan saya untuk membaca dan menulis buku. Jadi yang dibutuhkan saat ini adalah membaca buku tentang pernikahan, baru setelah itu menulis buku tentang pernikahan. Atau mungkin sebaiknya praktek dulu ya? Bukankah praktek itu lebih baik daripada teori ? He he he

“Yang Tersisa Bukan Berarti Sampah”

Kenapa saya menulis kalimat ini ? Sebenarnya sih saya cuma mau sekedar berbagi dengan FLP’ers. Mungkin ada yang seperti diri saya (kalau enggak ada pun justru lebih baik!), memposisikan dirinya seperti bagian- bagian yang tersisa… Tapi ibarat daur ulang.. dari yang tersisa pun kini menjadi barang seni eksotik, mahal dan banyak dicari orang! Jangan salah, masuk FLP itu memang BERAT ! Berat karena di dalamnya ada sekumpulan orang–orang pintar seperti kita yang punya banyak rasa CINTA … untuk saudara-saudara kita… Dan rasa CINTA untuk ALLAH tentunya.

Jadi…, terima kasih kepada SANG WAKTU yang telah memperkenalkan Saya dengan FLP. Dan FLP’ers… selamat menjadi “petualang imaji”…!

by Rahma