This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, February 17, 2005

[ARTIKEL] Lewat dia, saya belajar[1]

Dulu

Saya mengenal dekat, seorang anak perempuan waktu kecil dulu. Usianya sekitar tujuh tahun, dan tidak seperti teman-teman saya umumnya, yang terkenal karena hal-hal lain, sahabat saya ini justru terkenal karena penyakitan. Sungguh ia adalah gudang cukup banyak penyakit; jantung, paru-paru, gegar otak, lalu tumor. Rasanya tidak ada yang beres dalam dirinya, bahkan giginya pun bermasalah, karena tumbuh terlalu banyak dan menyimpang, hingga harus dikawat selama dua tahun, dan dicabut 14 akar.

Anehnya, anak ini tumbuh menjadi pribadi yang supel dan periang. Ia suka menyanyi, dan mulai mencipta lagu di kelas satu SD. Biarpun penyakitan, prestasi belajarnya tinggi, bahkan lebih baik dari pada sebelum kepalanya terbentur.

Sampai sekarang, saya sering menyelami hati anak tsb, heran kenapa dia tidak tumbuh menjadi anak pemurung disebabkan penyakit-penyakitnya yang seabrek tadi. Dari kelas 2 SD sd kelas 3 SMU, sahabat saya ini selalu meraih ranking pertama dan menyabet banyak medali dari sekolah. Orang tuanya tentu sangat bangga. Belakangan ia melanjutkan studi di IPB tanpa tes, alias masuk jalur PMDK waktu itu. Padahal semasa sekolah persemester ia bisa ijin sakit hingga 17 hari, dan tak jarang pingsan.

1992

Belakangan teman saya tsb, mulai rajin menulis. Kegagalan pertama dia dalam kehidupan menurut saya adalah ketika ia terpaksa memenuhi permintaan orang tuanya untuk pindah kuliah, ke jurusan yang lebih ringan, karena kondisi kesehatannya yang makin payah. Dari kabar yang saya dengar, teman tsb mengambil jurusan D2 Bahasa Arab. Ia makin rajin menulis. Teman-teman kuliahnya dulu gembira melihat tulisannya tersebar di media-media. Ia banyak menggoda mereka dengan mencomot nama-nama teman dekat dan satu kos dulu. Nama-nama yang sempat konflik dijadikan tokoh antagonis dalam cerita. Saya meski gembira, tidak bisa menahan diri untuk bertanya, bagaimana ia bisa mulai dekat dengan dunia menulis? Pada saya ia katakan, mungkin karena dunia membaca yang lekat ditumbuhkan ibunya. Setiap menunggu di rumah sakit, ibu sering memilih puasa hanya untuk bisa membelikan beberapa buku dan makan siang bagi teman saya tsb, yang menunggu berjam-jam sebelum dipanggil Memang teman saya tsb hanya berobat di
rumah sakit pemerintah, RSCM yang dulu sering diplesetkan menjadi Rumah Sakit Cepat Mati.

2000 - 2003

Setelah sempat vakum beberapa tahun, dan hanya menulis sedikit cerpen dan cerita bersambung, tahun 2000 untuk pertama kalinya buku fiksi pertamanya diterbitkan oleh sebuah penerbit di Bandung. Seri remaja yang lucu dan gaul, Aisyah Putri, yang menceritakan tentang seorang anak SMU yang alim, bernama Aisyah, yang mempunyai 4 orang abang dengan karakter-karakter yang unik.

Dia bilang itu kerinduannya akan sosok abang yang tak ia miliki satupun. Lewat seri remaja yang sekarang telah terbit hingga serial ke empat, dan mendapat sambutan luas, hingga mengalami cetak ulang berkali-kali itu, ia menghidupkan dunia imajinasi-nya sendiri, dimana ia memiliki kehangatan kasih sayang tidak hanya dari satu, tapi empat abang sekaligus. Dus mencoba membaca konflik-konflik yang umum terjadi pada usia-usia transisi itu.

"Sastra seharusnya menghaluskan budi pekerti, sebagaimana dikatakan orang, tapi sastrawan kita tak banyak melirik dunia remaja. Padahal dunia anak-anak muda itulah yang justru paling rawan dan membutuhkan banyak perhatian, dan pelajaran kehidupan. Di satu sisi banyak sastrawan kita yang hidup di awang-awang dan menara gading, merasa bangga dengan membuat karya-karya yang sulit dicerna."

Begitu katanya suatu hari pada saya atas jalur menulis yang dipilihnya.

Setelah itu, 9 buku fiksi remaja lain, terbit tahun 2000, dua diantaranya berupa novel.

Tahun 2001, ia menulis tiga buku. Salah satu bukunya, Rembulan di Mata Ibu, dinobatkan sebagai buku remaja terbaik nasional, dan ia mendapat predikat pengarang terbaik kedua. Tahun berikutnya ia menulis lebih empat buku yang diterbitkan berbagai penerbit, dan kembali meraih predikat sebagai salah satu pengarang terbaik adikarya ikapi.

Ia diundang menghadiri Pertemuan Sastrawan Nusantara di Brunei, dan workshop kepenulsan Novel, yang diadakan Majelis sastra Asia Tenggara (2001)

Tahun 2003 sampai saat ini ia menulis empat buku, salah satunya diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, dan mengalami cetak ulang, tidak sampai sebulan sejak diterbitkan.

Sekarang

Saya bertanya kenapa ia begitu rajin menulis dan prolifik, padahal aktivitasnya sebagai ibu dari dua orang anak, dan yayasan sosial yang dipimpinnya cukup menyita waktu.

Dengan begitu sungguh-sungguh, ia menjawab:

"Saya adalah penulis, yang menulis, bukan karena yakin saya berbakat di dunia kepenulisan melainkan karena rasa tanggung jawab yang ditumbuhkan kakak saya yang juga seorang pengarang. Dulu di waktu menulis hanya menjadi hobi dan bukan profesi, kakak tsb mengingatkan saya untuk merasa bertanggungjawab, atas begitu sedikitnya

pengarang perempuan di indonesia, dan lebih sedikit lagi yang menulis dengan tujuan mencerahkan, atau meluruskan distorsi informasi yang terjadi."

Hal ini menurutnya telah membuatnya lebih tahan menghadapi kendala- kendala dalam menulis, tidak tergantung pada mood, dan belakangan bisa menulis dalam berbagai situasi. Jelas berbeda jika ia menulis untuk popularitas atau uang belaka. Tanggung jawab itu membuatnya menjadikan menulis sebagai media berjuang (Merah di Jenin---ketika Israel membantai pengungsi Palestina di camp pengungsi Jenin, Meminang Bidadari--- menyoroti fenomena bom syahid di palestina, dan meluruskan siapa yang sebetulnya lebih layak dianggap agressor, Derai Sunyi--- upaya mengangkat kasus pelecehan dan penganiayaan PRT yang sering terjadi, dan tanpa standar hukum yang jelas, Air Mata Biereuen---konflik Aceh yang harusnya lebih dilihat sebagai sebuah tragedi kemanusiaan, ketimbang meributkan siapa yang salah dan siapa yang benar).

Sambil menatap mata saya lurus-lurus, teman tsb kembali melanjutkan,

"Saya adalah penulis yang menulis dengan rasa dan intuisi, dibandingkan

teori-teori sastra yang memang awalnya sama sekali tidak saya miliki."

Ini telah membantu teman saya tsb untuk tidak terbebani, dan terjebak dalam dikotomi-dikotomi sastra yang berlangsung, tentang sastra populer dan serius. Bahwa yang terpenting bagi penulis adalah menghasilkan karya yang baik.

"Saya adalah penulis, yang hingga detik ini masih sering harus mensugesti diri, dan pura-pura percaya bahwa saya bisa menulis."

Saya heran mendengar kalimatnya. Tidak pede bagi sebagian orang, merupakan perasaan yang mengganggu proses berkarya. Itu betul. Tapi di satu sisi, perasaan ini justru membuat teman saya tsb tetap berpijak di bumi dan tidak cepat besar kepala, atas prestasi yang sempat diraihnya, yang memang menurutnya belum apa- apa.

Perasaan tidak pede itu membuat teman saya tsb masih rajin membaca karya-karya yang ramai dibicarakan atau direkomendasikan orang.

Perasaan minder itu juga yang membuatnya tidak berhenti berproses, dan belajar menajamkan observasi yang sebelumnya hanya lewat studi pustaka dan klipping atau internet (Jendela Rara---kerinduan gadis kecil di kolong jembatan untuk memiliki jendela, yang menjaring matahari)

Maka, setiap kali perasaan gamang dan malas menulis, melingkupi hati saya, saya bercermin kepada sahabat saya tsb, dan perkataan yang ia ucapkan dengan penuh semangat,

"Kalau saya bisa menjadi penulis, padahal dulunya penyakitan, miskin, bukan S1, tidak memiliki background pendidikan apappun dalam dunia kepenulisan, bahkan yang sekarang masih berjuang untuk percaya diri.

Kalau saya bisa, anda pasti jauh lebih bisa!"


[1] Disampaikan oleh Asma Nadia dalam seminar nasional sastra, UPI Bandung 13 Oktober 2003

[INFO] Milad Ke-8 Forum Lingkar Pena

Siaran Pers

Assalaamu'alaikum dan salam sejahtera,

Forum Lingkar Pena (FLP) adalah sebuah organisasi kepenulisan yang berdiri sejak tahun 1997. Setelah hampir delapan tahun berdiri—organisasi yang peduli pada kelahiran penulis baru tersebut, telah beranggotakan sekitar 5000 orang yang berasal dari 100 kota di seluruh Indonesia dan mancanegara, menerbitkan sekitar 400 buku, serta bekerja sama dengan lebih dari 20 penerbit di Indonesia.

Selain aktif melakukan kampanye gemar membaca dan menulis dari kota sampai pelosok desa dan hutan, di kalangan pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, karyawan, petani hingga buruh pabrik, dengan segala keterbatasannya, FLP mendirikan “Rumah Cahaya” (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) di beberapa tempat di Indonesia. Di Rumah Cahaya para anak dan remaja, khususnya kalangan dhuafa, mendapat bimbingan untuk menulis secara gratis. FLP juga rutin mengadakan berbagai diskusi dan pelatihan penulisan, mengadakan sayembara mengarang dan memberikan penghargaan atas karya terbaik yang dihasilkan. Di beberapa daerah juga sudah dibuka FLP Kids (FLP untuk anak di bawah 12 th). Menariknya teman-teman FLP yang telah menjadi penulis, dengan tulus dan tanpa takut merasa tersaingi, turut ambil bagian dalam membidani kelahiran penulis baru di daerahnya.

FLP sangat unik. Unik karena hampir semua anggotanya adalah relawan yang sering mengisi berbagai acara dengan merogoh kocek sendiri. Mereka bersemangat meski bergerak dengan keterbatasan dana. Kepengurusan dan kegiatan FLP di berbagai daerah (juga luar negeri!) bahkan sering berjalan tanpa sekretariat tetap, melainkan menumpang pada rumah kontrakan seorang kawan. Bila ada musibah terhadap anggota FLP atau musibah nasional seperti tsunami Aceh lalu, para anggota FLP keroyokan “menyumbang dengan cerpen” hingga terbit buku-buku “antologi kasih” yang dibayar di muka oleh para penerbit dan seluruhnya disumbangkan bagi mereka yang kesusahan tersebut.

Kini dalam rangka memperingati hari jadi Forum Lingkar Pena (FLP) ke-8, FLP akan mengadakan rangkaian acara Milad dengan mengambil tema: “Sastra Untuk Semua”, 25-27 Februari mendatang, di Yogyakarta.

Berikut Susunan acara milad FLP:

Jum’at, 25 Februari 2005
Tempat: Balai Shinta Mandala Bakti Wanitatama, Jl. Adisucipto, Yogyakarta.

09.00-17.00
Pameran Buku dan Kegiatan FLP (FLP Expo)

09.00-11.15
Parade Penulis FLP dan Peluncuran Buku Matahari Tak Pernah Sendiri,
bersama: Asma Nadia, Izzatul Jannah, Sakti Wibowo, Sinta Yudisia,
Koesmarwanti, Gola Gong, Fahri Asiza, Afifah Afra, Agustrijanto,
Habiburrahman El-Shirazy, Abdurahman Faiz, Galang Lufityanto, Pipiet
Senja, Ali Muakhir, Boim Lebon, Azimah Rahayu, Zaenal Radar T., Ipal, M.
Irfan Hidayatullah, Jazimah Al Muhyi, Melvi Yendra, Erna, Tary, Benny
Ramdani, Cut Januarita, Rahmadiyanti, Bahtiar HS, Yus R. Ismail, Femmy
Syahrani, Koko Nata Kusuma, Asa Mulchias, Muthi Masfu'ah, Caca,
Adzimattinur Siregar, Muttaqwiati, Aswi, Leyla Imtichanah, Azzura
Dayana, Ekky Al Malaky, Lusiana M. Hevita, Hikaru, Vani Diana P., Ganjar
Widhi Yoga, Nostalgiawan, Hanafi, Nurul F. Huda, dan masih banyak lagi.



13.00-15.00
“FLP dan Dunia Kepenulisan di Indonesia”, bersama: Jamal D. Rahman, Hernowo, dan Helvy Tiana Rosa

15.30-16.30
Anugerah Pena, diberikan bagi anggota FLP untuk kategori:
a. Novel Terpuji
b. Novel Remaja Terpuji
c. Kumpulan Cerpen Terpuji
d. Kumpulan Cerpen Remaja Terpuji
e. Buku Non Fiksi Terpuji
f. Kaver Buku Terpuji
g. Penulis Pendatang Baru Terpuji
h. FLP Wilayah Terpuji

Anugerah Pena diberikan pula bagi karya dan tokoh luar FLP, yaitu untuk kategori:
a. Tokoh Sastra Indonesia Terpuji
b. Buku Fiksi Indonesia Terpuji

Pengumuman Lomba Menulis FLP Tingkat Nasional, yang terdiri dari Lomba Menulis Cerpen, Lomba Menulis Novel, dan Lomba Menulis Artikel

Penggalangan sumbangan buku dari masyarakat dalam rangka “Seribu Buku Untuk Aceh”

Sabtu-Ahad, 26-27 Februari 2005
Tempat: Hotel Kana, Kaliurang, Yogyakarta

Musyawarah Nasional FLP I yang khusus diikuti oleh perwakilan FLP wilayah seluruh Indonesia dan luar negeri

Salam,
Panitia Milad ke-8 FLP
CP: Rahmadiyanti: 0813 1035 6155
Azimah: 0812 904 1504