Saya mengenal dekat, seorang anak perempuan waktu kecil dulu. Usianya sekitar tujuh tahun, dan tidak seperti teman-teman saya umumnya, yang terkenal karena hal-hal lain, sahabat saya ini justru terkenal karena penyakitan. Sungguh ia adalah gudang cukup banyak penyakit; jantung, paru-paru, gegar otak, lalu tumor. Rasanya tidak ada yang beres dalam dirinya, bahkan giginya pun bermasalah, karena tumbuh terlalu banyak dan menyimpang, hingga harus dikawat selama dua tahun, dan dicabut 14 akar.
Anehnya, anak ini tumbuh menjadi pribadi yang supel dan periang. Ia suka menyanyi, dan mulai mencipta lagu di kelas satu SD. Biarpun penyakitan, prestasi belajarnya tinggi, bahkan lebih baik dari pada sebelum kepalanya terbentur.
Sampai sekarang, saya sering menyelami hati anak tsb, heran kenapa dia tidak tumbuh menjadi anak pemurung disebabkan penyakit-penyakitnya yang seabrek tadi. Dari kelas 2 SD sd kelas 3 SMU, sahabat saya ini selalu meraih ranking pertama dan menyabet banyak medali dari sekolah. Orang tuanya tentu sangat bangga. Belakangan ia melanjutkan studi di IPB tanpa tes, alias masuk jalur PMDK waktu itu. Padahal semasa sekolah persemester ia bisa ijin sakit hingga 17 hari, dan tak jarang pingsan.
Belakangan teman saya tsb, mulai rajin menulis. Kegagalan pertama dia dalam kehidupan menurut saya adalah ketika ia terpaksa memenuhi permintaan orang tuanya untuk pindah kuliah, ke jurusan yang lebih ringan, karena kondisi kesehatannya yang makin payah. Dari kabar yang saya dengar, teman tsb mengambil jurusan D2 Bahasa Arab. Ia makin rajin menulis. Teman-teman kuliahnya dulu gembira melihat tulisannya tersebar di media-media. Ia banyak menggoda mereka dengan mencomot nama-nama teman dekat dan satu kos dulu. Nama-nama yang sempat konflik dijadikan tokoh antagonis dalam cerita. Saya meski gembira, tidak bisa menahan diri untuk bertanya, bagaimana ia bisa mulai dekat dengan dunia menulis? Pada saya ia katakan, mungkin karena dunia membaca yang lekat ditumbuhkan ibunya. Setiap menunggu di rumah sakit, ibu sering memilih puasa hanya untuk bisa membelikan beberapa buku dan makan siang bagi teman saya tsb, yang menunggu berjam-jam sebelum dipanggil Memang teman saya tsb hanya berobat di
rumah sakit pemerintah, RSCM yang dulu sering diplesetkan menjadi Rumah Sakit Cepat Mati.
Setelah sempat vakum beberapa tahun, dan hanya menulis sedikit cerpen dan cerita bersambung, tahun 2000 untuk pertama kalinya buku fiksi pertamanya diterbitkan oleh sebuah penerbit di Bandung. Seri remaja yang lucu dan gaul, Aisyah Putri, yang menceritakan tentang seorang anak SMU yang alim, bernama Aisyah, yang mempunyai 4 orang abang dengan karakter-karakter yang unik.
Dia bilang itu kerinduannya akan sosok abang yang tak ia miliki satupun. Lewat seri remaja yang sekarang telah terbit hingga serial ke empat, dan mendapat sambutan luas, hingga mengalami cetak ulang berkali-kali itu, ia menghidupkan dunia imajinasi-nya sendiri, dimana ia memiliki kehangatan kasih sayang tidak hanya dari satu, tapi empat abang sekaligus. Dus mencoba membaca konflik-konflik yang umum terjadi pada usia-usia transisi itu.
"Sastra seharusnya menghaluskan budi pekerti, sebagaimana dikatakan orang, tapi sastrawan kita tak banyak melirik dunia remaja. Padahal dunia anak-anak muda itulah yang justru paling rawan dan membutuhkan banyak perhatian, dan pelajaran kehidupan. Di satu sisi banyak sastrawan kita yang hidup di awang-awang dan menara gading, merasa bangga dengan membuat karya-karya yang sulit dicerna."
Begitu katanya suatu hari pada saya atas jalur menulis yang dipilihnya.
Setelah itu, 9 buku fiksi remaja lain, terbit tahun 2000, dua diantaranya berupa novel.
Tahun 2001, ia menulis tiga buku. Salah satu bukunya, Rembulan di Mata Ibu, dinobatkan sebagai buku remaja terbaik nasional, dan ia mendapat predikat pengarang terbaik kedua. Tahun berikutnya ia menulis lebih empat buku yang diterbitkan berbagai penerbit, dan kembali meraih predikat sebagai salah satu pengarang terbaik adikarya ikapi.
Ia diundang menghadiri Pertemuan Sastrawan Nusantara di Brunei, dan workshop kepenulsan Novel, yang diadakan Majelis sastra Asia Tenggara (2001)
Tahun 2003 sampai saat ini ia menulis empat buku, salah satunya diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, dan mengalami cetak ulang, tidak sampai sebulan sejak diterbitkan.
Saya bertanya kenapa ia begitu rajin menulis dan prolifik, padahal aktivitasnya sebagai ibu dari dua orang anak, dan yayasan sosial yang dipimpinnya cukup menyita waktu.
Dengan begitu sungguh-sungguh, ia menjawab:
"Saya adalah penulis, yang menulis, bukan karena yakin saya berbakat di dunia kepenulisan melainkan karena rasa tanggung jawab yang ditumbuhkan kakak saya yang juga seorang pengarang. Dulu di waktu menulis hanya menjadi hobi dan bukan profesi, kakak tsb mengingatkan saya untuk merasa bertanggungjawab, atas begitu sedikitnya
pengarang perempuan di indonesia, dan lebih sedikit lagi yang menulis dengan tujuan mencerahkan, atau meluruskan distorsi informasi yang terjadi."
Hal ini menurutnya telah membuatnya lebih tahan menghadapi kendala- kendala dalam menulis, tidak tergantung pada mood, dan belakangan bisa menulis dalam berbagai situasi. Jelas berbeda jika ia menulis untuk popularitas atau uang belaka. Tanggung jawab itu membuatnya menjadikan menulis sebagai media berjuang (Merah di Jenin---ketika Israel membantai pengungsi Palestina di camp pengungsi Jenin, Meminang Bidadari--- menyoroti fenomena bom syahid di palestina, dan meluruskan siapa yang sebetulnya lebih layak dianggap agressor, Derai Sunyi--- upaya mengangkat kasus pelecehan dan penganiayaan PRT yang sering terjadi, dan tanpa standar hukum yang jelas, Air Mata Biereuen---konflik Aceh yang harusnya lebih dilihat sebagai sebuah tragedi kemanusiaan, ketimbang meributkan siapa yang salah dan siapa yang benar).
Sambil menatap mata saya lurus-lurus, teman tsb kembali melanjutkan,
"Saya adalah penulis yang menulis dengan rasa dan intuisi, dibandingkan
teori-teori sastra yang memang awalnya sama sekali tidak saya miliki."
Ini telah membantu teman saya tsb untuk tidak terbebani, dan terjebak dalam dikotomi-dikotomi sastra yang berlangsung, tentang sastra populer dan serius. Bahwa yang terpenting bagi penulis adalah menghasilkan karya yang baik.
"Saya adalah penulis, yang hingga detik ini masih sering harus mensugesti diri, dan pura-pura percaya bahwa saya bisa menulis."
Saya heran mendengar kalimatnya. Tidak pede bagi sebagian orang, merupakan perasaan yang mengganggu proses berkarya. Itu betul. Tapi di satu sisi, perasaan ini justru membuat teman saya tsb tetap berpijak di bumi dan tidak cepat besar kepala, atas prestasi yang sempat diraihnya, yang memang menurutnya belum apa- apa.
Perasaan tidak pede itu membuat teman saya tsb masih rajin membaca karya-karya yang ramai dibicarakan atau direkomendasikan orang.
Perasaan minder itu juga yang membuatnya tidak berhenti berproses, dan belajar menajamkan observasi yang sebelumnya hanya lewat studi pustaka dan klipping atau internet (Jendela Rara---kerinduan gadis kecil di kolong jembatan untuk memiliki jendela, yang menjaring matahari)
Maka, setiap kali perasaan gamang dan malas menulis, melingkupi hati saya, saya bercermin kepada sahabat saya tsb, dan perkataan yang ia ucapkan dengan penuh semangat,
"Kalau saya bisa menjadi penulis, padahal dulunya penyakitan, miskin, bukan S1, tidak memiliki background pendidikan apappun dalam dunia kepenulisan, bahkan yang sekarang masih berjuang untuk percaya diri.
Kalau saya bisa, anda pasti jauh lebih bisa!"
[1] Disampaikan oleh Asma Nadia dalam seminar nasional sastra, UPI Bandung 13 Oktober 2003