Ahad, 2 Oktober 2005
Pukul 08.00 WIB, saya dan teman-teman dari FLP Bekasi dan juga SMU Muhammadiyah sudah bersiap-siap di tempat acara: SMU Muhammadiyah 9 Bekasi. Halaman sekolah tampak lengang. Gedung SMU pun terlihat sepi, kecuali di satu ruang besar yang terletak di lantai 2. Ruang aula yang akan menjadi tempat acara berlangsung pun masih sepi. Ketika saya menjenguk ke dalam, hanya terlihat Irshad (ketua pelaksana acara dari FLP Bekasi), Ikhwan (ketua tim teknis dari SMU Muhammadiyah), dan sekitar dua orang lainnya. Pandangan saya pertama kali tertuju pada backdrop ruangan, yang dibuat keroyokan oleh teman-teman dari SMU Muhammadiyah, yang tampaknya hampir-hampir tidak bisa dipasang. Backdrop sederhana itu dibuat dari gabus putih berbentuk segiempat yang ditempeli huruf-huruf yang dilapisi karton warna-warni. Saya kemudian ingat perkataan Ninies dan Ikhwan ketika rapat terakhir, bahwa backdrop itu mereka buat sendiri dari sisa bahan-bahan yang ada di sekolah, sehingga tidak perlu membeli lagi. Klise memang, kami kekurangan dana. Saya lantas menggigit bibir, backdrop itu … jantung saya berdetak keras, membayangkan kekecewaan dari beberapa orang yang akan hadir. Tapi saya segera lupa akan pikiran itu.
Ruang aula yang sebenarnya terdiri dari 3 kelas dijadikan satu itu terlihat cukup luas. Saya tidak memikirkan apakah nantinya ruangan itu akan terisi penuh atau tidak. Saya, dan juga mbak Rahma yang baru saja datang, langsung turun lagi ke bawah, tempat pendaftaran peserta, untuk memeriksa apakah ada hal-hal yang kurang.
Kardus-kardus konsumsi menumpuk di pojok tangga dekat pintu masuk. Tempat pendaftaran yang terletak mepet ke tangga, sempit, dan sedikit terganggu dengan letak tempat itu yang berdekatan dengan tempat sampah. Tumpukan majalah ANNIDA untuk souvenir peserta … saya sedikit membayangkan para peserta yang harus berdesak-desakan masuk ke dalam, membeli tiket, dan entah kepanikan apa yang mungkin akan terjadi. Saya kemudian bergegas memeriksa lokasi bazaar. Enam buah meja yang disusun menjadi tiga stand bazaar. Hari masih pagi, mungkin siang nanti teman-teman yang bertugas menjaga stand bazaar tidak akan seceria sekarang. Tempat terbuka, panas pastinya.
Saya berkeliling ke depan sekolah, memerhatikan sekali sebuah spanduk hijau yang tergantung di sisi depan gedung itu. Saya kembali teringat pada backdrop di ruang aula, dan terngiang percakapan dengan beberapa orang panitia teknis saat rapat dan malam sebelum acara melalui telepon.
“Mbak, spanduknya terlanjur dicetak nih … dan nggak ada logonya,”
“Aduh! Tempel aja kalo gitu, ya. Nanti diprint, trus langsung ditempel aja, nggak apa-apa kok, yang penting ada.”
“Mbak, emang penting banget ya nyantumin logo? Tulisannya emang musti ada?”:
“Uang konsumsi yang kemarin harus diganti segera, Mbak? Kayaknya kita kekurangan dana nih, Mbak!”
“Mbak, majalah beres, bazaar beres, sound system beres, pokoknya udah semua.”
Pukul 9 kurang sekian menit, mbak Rahma masih terlihat bolak-balik di ruang aula, dan kemudian turun lagi ke tempat pendaftaran. Ninies dan Ilham, yang akan menjadi MC acara, terlihat sedikit gugup, malah kertas contekan mereka sempat hilang! Pembaca tilawah dan sari tilawah tidak hadir, dan akhirnya digantikan (dengan sedikit paksaan) oleh Maulana (anggota FLP Bekasi, yang ditelpon mendadak dan dipaksa datang). Peserta yang berseliweran di lokasi bazaar dan di ruang aula, matahari yang mulai terik, panitia teknis yang berkali-kali menghampiri mbak Rahma untuk bertanya ini-itu, sepertinya semua mulai gugup.
Pukul 10 kurang sekian menit, semua pembicara hadir. Mas Boim yang sampai lebih dulu, dan rombongan dari LPPH langsung naik ke ruang aula.
Kedua MC acara terlihat makin gugup, mbak Rahma sibuk meyakinkan mereka bahwa semua akan beres. Irshad, yang tampak sedikit lebih tenang, juga ikut mundar-mandir. Saya mencari-cari mbak Nanik, yang ternyata sedang berbicara dengan sie dokumentasi (yang terbengong mendengarkan mbak Nanik). Jantung saya berdetak kencang,
"Mbak Nanik ..." saya menyapanya.
"Vita! Seharusnya saya temuin kamu dari tadi! Vit ..."
Yap. Setiap pekerjaan yang telah direncanakan, ternyata pasti menyimpan sebuah kekurangan. Tapi kali ini rupanya cukup fatal dan mengecewakan. Bagi saya, dan juga panitia lainnya, bukan lagi kecewa. Rasa tak enak, bersalah, bingung, dan resah yang tersimpan sampai akhir acara. Satu hal yang benar-benar luput dari perhatian kami semua sampai di persiapan akhir acara: mencantumkan logo sponsor pada spanduk. Hiks ....
Hingga pukul 11, acara berlangsung cukup meriah. Mas Boim dan mbak Asma sepertinya menjadi favorit peserta, dengan semangat dan keterampilan mereka membawakan acara. Acara yang dibuka dengan pembacaan cerpen oleh Birulaut cukup memikat peserta. Selanjutnya, acara talk show yang dipandu oleh mbak Asma sangat memberikan inspirasi dan masukan berharga untuk semua peserta dan juga anggota FLP Bekasi sendiri. Terutama ketika mendengar pengalaman dari Deny Prabowo dan Leyla Imtichanah, yang diperkenalkan mbak Asma sebagai penulis-penulis muda yang cukup produktif.
Di penghujung acara, LPPH membagikan doorprize berupa buku-buku terbitan LPPH bagi beberapa peserta yang terpilih atas tulisan terbaik mereka pada tugas yang telah diberikan saat acara. Panitia yang juga telah menyiapkan hadiah bagi peserta akhirnya memberikan beberapa pertanyaan ringan, yang dijawab dengan berebutan. Pameran buku-buku terbaru dari LPPH pun menarik peserta dan panitia, bazaar diserbu!
Pukul tiga sore, panitia teknis masih sibuk membereskan ruang aula dan lokasi bazaar. Semua tampak lelah. Bagaimanapun, kami semua sangat bersyukur. Terima kasih untuk semua yang telah mendukung acara.
Pukul 08.00 WIB, saya dan teman-teman dari FLP Bekasi dan juga SMU Muhammadiyah sudah bersiap-siap di tempat acara: SMU Muhammadiyah 9 Bekasi. Halaman sekolah tampak lengang. Gedung SMU pun terlihat sepi, kecuali di satu ruang besar yang terletak di lantai 2. Ruang aula yang akan menjadi tempat acara berlangsung pun masih sepi. Ketika saya menjenguk ke dalam, hanya terlihat Irshad (ketua pelaksana acara dari FLP Bekasi), Ikhwan (ketua tim teknis dari SMU Muhammadiyah), dan sekitar dua orang lainnya. Pandangan saya pertama kali tertuju pada backdrop ruangan, yang dibuat keroyokan oleh teman-teman dari SMU Muhammadiyah, yang tampaknya hampir-hampir tidak bisa dipasang. Backdrop sederhana itu dibuat dari gabus putih berbentuk segiempat yang ditempeli huruf-huruf yang dilapisi karton warna-warni. Saya kemudian ingat perkataan Ninies dan Ikhwan ketika rapat terakhir, bahwa backdrop itu mereka buat sendiri dari sisa bahan-bahan yang ada di sekolah, sehingga tidak perlu membeli lagi. Klise memang, kami kekurangan dana. Saya lantas menggigit bibir, backdrop itu … jantung saya berdetak keras, membayangkan kekecewaan dari beberapa orang yang akan hadir. Tapi saya segera lupa akan pikiran itu.
Ruang aula yang sebenarnya terdiri dari 3 kelas dijadikan satu itu terlihat cukup luas. Saya tidak memikirkan apakah nantinya ruangan itu akan terisi penuh atau tidak. Saya, dan juga mbak Rahma yang baru saja datang, langsung turun lagi ke bawah, tempat pendaftaran peserta, untuk memeriksa apakah ada hal-hal yang kurang.
Kardus-kardus konsumsi menumpuk di pojok tangga dekat pintu masuk. Tempat pendaftaran yang terletak mepet ke tangga, sempit, dan sedikit terganggu dengan letak tempat itu yang berdekatan dengan tempat sampah. Tumpukan majalah ANNIDA untuk souvenir peserta … saya sedikit membayangkan para peserta yang harus berdesak-desakan masuk ke dalam, membeli tiket, dan entah kepanikan apa yang mungkin akan terjadi. Saya kemudian bergegas memeriksa lokasi bazaar. Enam buah meja yang disusun menjadi tiga stand bazaar. Hari masih pagi, mungkin siang nanti teman-teman yang bertugas menjaga stand bazaar tidak akan seceria sekarang. Tempat terbuka, panas pastinya.
Saya berkeliling ke depan sekolah, memerhatikan sekali sebuah spanduk hijau yang tergantung di sisi depan gedung itu. Saya kembali teringat pada backdrop di ruang aula, dan terngiang percakapan dengan beberapa orang panitia teknis saat rapat dan malam sebelum acara melalui telepon.
“Mbak, spanduknya terlanjur dicetak nih … dan nggak ada logonya,”
“Aduh! Tempel aja kalo gitu, ya. Nanti diprint, trus langsung ditempel aja, nggak apa-apa kok, yang penting ada.”
“Mbak, emang penting banget ya nyantumin logo? Tulisannya emang musti ada?”:
“Uang konsumsi yang kemarin harus diganti segera, Mbak? Kayaknya kita kekurangan dana nih, Mbak!”
“Mbak, majalah beres, bazaar beres, sound system beres, pokoknya udah semua.”
Pukul 9 kurang sekian menit, mbak Rahma masih terlihat bolak-balik di ruang aula, dan kemudian turun lagi ke tempat pendaftaran. Ninies dan Ilham, yang akan menjadi MC acara, terlihat sedikit gugup, malah kertas contekan mereka sempat hilang! Pembaca tilawah dan sari tilawah tidak hadir, dan akhirnya digantikan (dengan sedikit paksaan) oleh Maulana (anggota FLP Bekasi, yang ditelpon mendadak dan dipaksa datang). Peserta yang berseliweran di lokasi bazaar dan di ruang aula, matahari yang mulai terik, panitia teknis yang berkali-kali menghampiri mbak Rahma untuk bertanya ini-itu, sepertinya semua mulai gugup.
Pukul 10 kurang sekian menit, semua pembicara hadir. Mas Boim yang sampai lebih dulu, dan rombongan dari LPPH langsung naik ke ruang aula.
Kedua MC acara terlihat makin gugup, mbak Rahma sibuk meyakinkan mereka bahwa semua akan beres. Irshad, yang tampak sedikit lebih tenang, juga ikut mundar-mandir. Saya mencari-cari mbak Nanik, yang ternyata sedang berbicara dengan sie dokumentasi (yang terbengong mendengarkan mbak Nanik). Jantung saya berdetak kencang,
"Mbak Nanik ..." saya menyapanya.
"Vita! Seharusnya saya temuin kamu dari tadi! Vit ..."
Yap. Setiap pekerjaan yang telah direncanakan, ternyata pasti menyimpan sebuah kekurangan. Tapi kali ini rupanya cukup fatal dan mengecewakan. Bagi saya, dan juga panitia lainnya, bukan lagi kecewa. Rasa tak enak, bersalah, bingung, dan resah yang tersimpan sampai akhir acara. Satu hal yang benar-benar luput dari perhatian kami semua sampai di persiapan akhir acara: mencantumkan logo sponsor pada spanduk. Hiks ....
Hingga pukul 11, acara berlangsung cukup meriah. Mas Boim dan mbak Asma sepertinya menjadi favorit peserta, dengan semangat dan keterampilan mereka membawakan acara. Acara yang dibuka dengan pembacaan cerpen oleh Birulaut cukup memikat peserta. Selanjutnya, acara talk show yang dipandu oleh mbak Asma sangat memberikan inspirasi dan masukan berharga untuk semua peserta dan juga anggota FLP Bekasi sendiri. Terutama ketika mendengar pengalaman dari Deny Prabowo dan Leyla Imtichanah, yang diperkenalkan mbak Asma sebagai penulis-penulis muda yang cukup produktif.
Di penghujung acara, LPPH membagikan doorprize berupa buku-buku terbitan LPPH bagi beberapa peserta yang terpilih atas tulisan terbaik mereka pada tugas yang telah diberikan saat acara. Panitia yang juga telah menyiapkan hadiah bagi peserta akhirnya memberikan beberapa pertanyaan ringan, yang dijawab dengan berebutan. Pameran buku-buku terbaru dari LPPH pun menarik peserta dan panitia, bazaar diserbu!
Pukul tiga sore, panitia teknis masih sibuk membereskan ruang aula dan lokasi bazaar. Semua tampak lelah. Bagaimanapun, kami semua sangat bersyukur. Terima kasih untuk semua yang telah mendukung acara.