Sore itu begitu melelahkan. Rasanya ingin cepat-cepat sampai di penginapan, mandi, dan istirahat. Wah, pasti tak terkira nikmatnya! Kalau saja tak ingat permintaan kedua adik manis yang kutemui siang tadi, pasti kantuk yang menyerang akan berakhir lelap hingga malam.
Masih dengan songket india yang membelit pinggang hingga kaki, hak sandal manik-manik hitam yang kukenakan membawaku mundar-mandir sambil celingukan ke seluruh penjuru ruangan. Sampai kira-kira satu jam sebelum acara berakhir, handphone-ku bergetar,
"Mbak, tunggu Aya sampai datang ya, please...Aya kangen banget, pokoke jangan pulang dulu"
Satu jam lewat, akhirnya si cantik itu datang bersama seorang lagi kawannya. Aya dan Novi, dua orang anggota FLP Bali. Ini kali kedua kami bertemu, sebelumnya di Munas FLP di Kaliurang, Yogya. Kangen. Sepertinya lelah itu terusir pelan-pelan.
"Mbak, kapan bisa ketemuan dengan anak-anak FLP Bali?"
"Wah, iya ya?! Kalian kapan ada pertemuan? Maaf ya, kemarin nggak sempat. Ada acara keluarga sampai malam."
"Sore ini aja, Mbak. Kami ada rapat evaluasi di DSM (Dompet Sosial Muslim)."
Aku terkesiap. Ups, sore ini? Belitan songket hijau muda itu terasa semakin kuat, menjalarkan pegal-pegal ke seluruh bagian kaki. Rasanya badan ini akan remuk, mengingat tadi malam baru selesai acara pukul sebelas malam, mengantarkan seluruh tamu pulang dari rumah mertua. Fiuh! Tapi kalau tak hari ini, kapan lagi?
"Oke deh, nanti sore. Pukul berapa mau jemput?"
Senyum lebar menghiasi wajah Aya. Duh, jadi tambah semangat. Biarlah, lelah itu menanti sebentar lagi.
Sekitar pukul 4, Novi sudah stand by di atas motornya di depan KFC Kuta Square. Wah, naik motor, diboncengi akhwat pula. Jantung ini seketika menghentak-hentak. Kabarnya si manis ini suka ngebut pula. Hup, baca bismillah saja...
Pertemuan dengan pengurus FLP Bali yang direncanakan di kantor DSM Bali, akhirnya harus berpindah tempat ke Mushola Tawakkal. Musholla bertingkat yang sering digunakan untuk acara-acara pengajian, atau sehari-harinya digunakan sebagai TK atau SDIT. Sampai di tempat parkir di depan mushola, terlihat tiga sosok laki-laki, yang rasanya familiar sekali. Wah, ini pasti FLP'ers Bali yang kulihat dari jauh di gedung tadi siang. Masih dengan seragam yang sama, jaket mahasiswa dan celana panjang.
"Maaf, Mbak. Tempatnya harus pindah. Ternyata mushola dipakai ibu-ibu pengajian."
Duh, Novi. Si manis itu harus mengantarku dan kemudian menjemput Aya untuk sampai di DSM, tempat kami akhirnya memulai pertemuan. Terengah-engah, pukul lima sore. Bayang-bayang keletihan ternyata tak hanya menggelayut di wajahku. Toh mereka juga dalam kondisi yang sama.
Akhirnya, dimulailah. Pertemuan seru selama kurang lebih 2 jam, dengan jeda shalat maghrib. Hanafi, sang Ketua FLP Bali, tak henti-hentinya bertanya ini-itu, macam interograsi saja. Mereka, para ikhwan itu, duduk berjejer di hadapanku, Aya, dan Novi. Niat hati ingin menggali informasi dan mencari inspirasi dari aktivitas dan deklarasi yang baru dilangsungkan FLP Bali. Tapi akhirnya harus menyerah juga, biarlah mereka berpuas-puas dulu. Mulai dari Hanafi, Ali, Didi, sampai Aya dan Novi, semuanya melontarkan berbagai pertanyaan. Mulai dari FLP Bekasi sampai Eramuslim. Sharing, sekaligus jadi bahan evaluasi untuk diri sendiri juga. Sudah sejauh manakah kiprah FLP Bekasi?
Pengurus FLP Bali hanya terdiri dari 6 orang, yang mengaku belum patut disebut sebagai penulis. Kehadiran mereka di Munas kemarin rupanya telah menimbulkan semangat yang begitu besar (pun terlihat dari berapi-apinya Hanafi menerangkan ini itu) untuk membangkitkan kembali FLP Bali. Mereka mencoba mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh FLP Yogya, termasuk soal struktur kepengurusan hingga kegiatan yang akan dilakukan, dan ingin menjadikan FLP Bali seperti FLP Kaltim, yang telah mengakar hingga ke masyarakat. Terbukti dari upaya mereka untuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Termasuk dengan DSM Bali, yang telah merelakan tempatnya dijadikan 'basecamp' atau tempat pertemuan bagi para FLP'ers ini. Sebuah kerja sama yang cukup baik, FLP Bali turut andil dalam pembuatan dan pengelolaan majalah yang akan diterbitkan oleh DSM Bali dalam waktu dekat ini.
Hanafi dan Novi menceritakan panjang lebar bagaimana mereka melakukan audiensi ke beberapa pihak, di antaranya Diknas (yang kini katanya sudah mengakui keberadaan FLP Bali), MUI, sampai ke Bank Syariah Mandiri cabang Bali. Subhanallah...terharu, dan rasanya semangat itu terpompa kembali ke dalam benak ini. Termasuk rasa malu yang diam-diam merayapi hati. Mereka, adik-adik tercinta itu, dengan segala kesibukan dalam aktivitas belajar dan organisasi, ternyata pun telah terjun bekerja mencari maisyah, dan kini menambahnya dengan menjadi pengurus FLP Bali. Subhanallah...subhanallah.... Saat itu, rasanya ingin cepat-cepat pulang ke Jakarta kemudian menelpon mbak Rahma dan Wiwiek!
Menjelang pukul 7 malam, pertemuan diakhiri. Dibekali semangat serta banyak sekali ide di kepala ini, dan tak ketinggalan, selembar kartu nama Hanafi-sebagai pengurus FLP Bali! Kartu nama? Wah, sampai lupa menukarnya dengan kartu nama sendiri. Tercengang cukup lama. Duh, subhanallah…berkali-kali kubisikkan dalam hati. Jadi teringat komentar Hanafi mengenai FLP Bekasi yang harus menyewa tempat hingga sekitar dua ratus ribu per hari, “Dua ratus ribu? Itu sih murah, Mbak.”
Jadi tersenyum sendiri. Begitulah. Bila ada semangat dan kemauan untuk maju, mungkin segalanya akan terasa mudah dan pasti bisa dilalui.
Masih dengan songket india yang membelit pinggang hingga kaki, hak sandal manik-manik hitam yang kukenakan membawaku mundar-mandir sambil celingukan ke seluruh penjuru ruangan. Sampai kira-kira satu jam sebelum acara berakhir, handphone-ku bergetar,
"Mbak, tunggu Aya sampai datang ya, please...Aya kangen banget, pokoke jangan pulang dulu"
Satu jam lewat, akhirnya si cantik itu datang bersama seorang lagi kawannya. Aya dan Novi, dua orang anggota FLP Bali. Ini kali kedua kami bertemu, sebelumnya di Munas FLP di Kaliurang, Yogya. Kangen. Sepertinya lelah itu terusir pelan-pelan.
"Mbak, kapan bisa ketemuan dengan anak-anak FLP Bali?"
"Wah, iya ya?! Kalian kapan ada pertemuan? Maaf ya, kemarin nggak sempat. Ada acara keluarga sampai malam."
"Sore ini aja, Mbak. Kami ada rapat evaluasi di DSM (Dompet Sosial Muslim)."
Aku terkesiap. Ups, sore ini? Belitan songket hijau muda itu terasa semakin kuat, menjalarkan pegal-pegal ke seluruh bagian kaki. Rasanya badan ini akan remuk, mengingat tadi malam baru selesai acara pukul sebelas malam, mengantarkan seluruh tamu pulang dari rumah mertua. Fiuh! Tapi kalau tak hari ini, kapan lagi?
"Oke deh, nanti sore. Pukul berapa mau jemput?"
Senyum lebar menghiasi wajah Aya. Duh, jadi tambah semangat. Biarlah, lelah itu menanti sebentar lagi.
Sekitar pukul 4, Novi sudah stand by di atas motornya di depan KFC Kuta Square. Wah, naik motor, diboncengi akhwat pula. Jantung ini seketika menghentak-hentak. Kabarnya si manis ini suka ngebut pula. Hup, baca bismillah saja...
Pertemuan dengan pengurus FLP Bali yang direncanakan di kantor DSM Bali, akhirnya harus berpindah tempat ke Mushola Tawakkal. Musholla bertingkat yang sering digunakan untuk acara-acara pengajian, atau sehari-harinya digunakan sebagai TK atau SDIT. Sampai di tempat parkir di depan mushola, terlihat tiga sosok laki-laki, yang rasanya familiar sekali. Wah, ini pasti FLP'ers Bali yang kulihat dari jauh di gedung tadi siang. Masih dengan seragam yang sama, jaket mahasiswa dan celana panjang.
"Maaf, Mbak. Tempatnya harus pindah. Ternyata mushola dipakai ibu-ibu pengajian."
Duh, Novi. Si manis itu harus mengantarku dan kemudian menjemput Aya untuk sampai di DSM, tempat kami akhirnya memulai pertemuan. Terengah-engah, pukul lima sore. Bayang-bayang keletihan ternyata tak hanya menggelayut di wajahku. Toh mereka juga dalam kondisi yang sama.
Akhirnya, dimulailah. Pertemuan seru selama kurang lebih 2 jam, dengan jeda shalat maghrib. Hanafi, sang Ketua FLP Bali, tak henti-hentinya bertanya ini-itu, macam interograsi saja. Mereka, para ikhwan itu, duduk berjejer di hadapanku, Aya, dan Novi. Niat hati ingin menggali informasi dan mencari inspirasi dari aktivitas dan deklarasi yang baru dilangsungkan FLP Bali. Tapi akhirnya harus menyerah juga, biarlah mereka berpuas-puas dulu. Mulai dari Hanafi, Ali, Didi, sampai Aya dan Novi, semuanya melontarkan berbagai pertanyaan. Mulai dari FLP Bekasi sampai Eramuslim. Sharing, sekaligus jadi bahan evaluasi untuk diri sendiri juga. Sudah sejauh manakah kiprah FLP Bekasi?
Pengurus FLP Bali hanya terdiri dari 6 orang, yang mengaku belum patut disebut sebagai penulis. Kehadiran mereka di Munas kemarin rupanya telah menimbulkan semangat yang begitu besar (pun terlihat dari berapi-apinya Hanafi menerangkan ini itu) untuk membangkitkan kembali FLP Bali. Mereka mencoba mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh FLP Yogya, termasuk soal struktur kepengurusan hingga kegiatan yang akan dilakukan, dan ingin menjadikan FLP Bali seperti FLP Kaltim, yang telah mengakar hingga ke masyarakat. Terbukti dari upaya mereka untuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Termasuk dengan DSM Bali, yang telah merelakan tempatnya dijadikan 'basecamp' atau tempat pertemuan bagi para FLP'ers ini. Sebuah kerja sama yang cukup baik, FLP Bali turut andil dalam pembuatan dan pengelolaan majalah yang akan diterbitkan oleh DSM Bali dalam waktu dekat ini.
Hanafi dan Novi menceritakan panjang lebar bagaimana mereka melakukan audiensi ke beberapa pihak, di antaranya Diknas (yang kini katanya sudah mengakui keberadaan FLP Bali), MUI, sampai ke Bank Syariah Mandiri cabang Bali. Subhanallah...terharu, dan rasanya semangat itu terpompa kembali ke dalam benak ini. Termasuk rasa malu yang diam-diam merayapi hati. Mereka, adik-adik tercinta itu, dengan segala kesibukan dalam aktivitas belajar dan organisasi, ternyata pun telah terjun bekerja mencari maisyah, dan kini menambahnya dengan menjadi pengurus FLP Bali. Subhanallah...subhanallah.... Saat itu, rasanya ingin cepat-cepat pulang ke Jakarta kemudian menelpon mbak Rahma dan Wiwiek!
Menjelang pukul 7 malam, pertemuan diakhiri. Dibekali semangat serta banyak sekali ide di kepala ini, dan tak ketinggalan, selembar kartu nama Hanafi-sebagai pengurus FLP Bali! Kartu nama? Wah, sampai lupa menukarnya dengan kartu nama sendiri. Tercengang cukup lama. Duh, subhanallah…berkali-kali kubisikkan dalam hati. Jadi teringat komentar Hanafi mengenai FLP Bekasi yang harus menyewa tempat hingga sekitar dua ratus ribu per hari, “Dua ratus ribu? Itu sih murah, Mbak.”
Jadi tersenyum sendiri. Begitulah. Bila ada semangat dan kemauan untuk maju, mungkin segalanya akan terasa mudah dan pasti bisa dilalui.