Terkadang kita berpikir bahwa apa yang sedang kita alami, ujian yang sedang kita lewati, adalah yang terberat dari yang ada. Adalah yang terberat dari semua. Diri kita, adalah yang paling menderita, hingga tak lagi sanggup kita memikirkan orang lain selain bagaimana berlepas diri dari ujian ini. Lalu, tenggelamlah kita dalam lumpur derita. Hingga berat rasanya untuk meraih pegangan di atas sana, untuk mengangkat diri ini supaya tak berlama-lama terjerat di dalamnya. Tenggelamlah kita.
Hari itu, saya datang ke kantor dengan kedua mata nyaris bengkak. Setelah hampir semalaman menumpahkan air mata sejadi-jadinya, sendirian. Rasanya tidak ada satu pun gairah yang menempel menyertai saat kedua kaki ini melangkah pergi. Dan sesampainya di kantor, saya menahan lidah kuat-kuat. Tak boleh sebersit pun terucap segala keluh kesah tadi malam. Kerja ya kerja. Saya tak ingin mencampurinya dengan permasalahan pribadi. Pasang muka cerah, memaksakan diri untuk selalu tersenyum. Dan hari itu, tak ada satu pun yang menyadari kedua mata ini yang nyaris copot dan kepala kian berdenyut sebab tangis itu terbawa sampai tidur. Tadi malam.
Hari itu, saya menemui seorang teman sedang menahan kesal di hatinya. Baru saja berselisih dengan seorang teman yang lain. Sampai luapan emosi itu tak tertahankan lagi, padahal tak pernah sekali pun saya melihatnya demikian. Saya ingin memaksanya untuk bercerita, ia pun menceritakan. Dengan nada datar, terlalu datar. Malah ditambahi dengan senyum dan cengiran khasnya. Siang hari, sampai menjelang sore, celotehnya tetap berkisar tentang target-target bulanan. Tapi entahlah, saya merasakan dirinya begitu berbeda hari itu.
Pembicaraan ketika presentasi, saya melihat kedua matanya berkaca-kaca, dengan suara nyaris gemetar. Seolah saat itu saya melihat beban berkilo-kilo tergantung di kedua pundaknya, dan entah apa yang kian menyesakkan dadanya. Seolah bila ada tombol ‘on’ yang tertempel di tubuhnya dinyalakan, ia akan segera meledak. Percakapan setelah pertemuan, ia mengatakan bahwa yang ia rasakan sekarang adalah ketidaksanggupan yang amat sangat. Dengan wajah yang dipaksakan tersenyum.
Sungguh, saat itu, saya ingin langsung memeluknya. Dan berkata padanya, “Menangislah! Agar beban itu tertumpah sebagian, supaya hatimu lega, supaya bisa berbagi berat itu kepadaku sebagian.”
Sore hari, setelah menunaikan perjumpaan dengan-Nya. Seorang teman lagi bercerita dengan lancar peristiwa penting yang dialaminya hari itu. Ia harus melepaskan ‘calon’ buah hatinya. Ia harus merelakannya pergi, sebab ditemukan kejanggalan pada perkembangan janin di rahimnya. Ia yang telah menantinya sekian lama.
Tak hanya itu, sederet kisahnya pun tumpah seketika. Yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Sebab tak demikian yang saya dapati dari wajah dan penampilannya sehari-hari. Ia, yang begitu ceria, ternyata menyimpan begitu banyak luka. Ia yang tampak begitu tegar, sore itu, air matanya tumpah juga.
Saya tertegun. Dan saya hanya bisa berkata, “Sabar ya mbak…ini cobaan dari Allah.”
Sesaat setelahnya, saya kembali ingat pada kedua belah mata saya yang masih bengkak. Tak sempat lagi saya rasakan pening di kepala, seorang teman lagi bercerita. Tentang kesulitan-kesulitan yang dialaminya dalam prosesnya mempersiapkan pernikahannya. Yang rasanya bila hal itu menimpa diri saya, tak tahu apalagi yang bisa saya lakukan untuk mengatasinya sendirian. Saya tak tahu harus berbuat apa, kecuali melantunkan doa dalam hati, “Semoga Allah memberinya kemudahan dalam ikhtiarnya ini…”
Mendekati pukul lima, sebentar lagi pulang. Saya nyaris melupakan apa yang telah saya alami semalam. Pun bengkak di kedua mata seperti tak ada artinya. Hari itu, saya mulai dengan berpikir bahwa saya adalah orang yang paling malang plus satu-satunya karyawan kantor yang datang pagi-pagi dengan mata bengkak. Dan saya rasa tak kan sanggup saya berkonsentrasi dengan pekerjaan, apalagi ‘mood’ untuk mendengarkan lagi lebih banyak masalah-masalah yang ada.
Tetapi kenyataannya tak demikian. Tanpa diminta, saya telah menyaksikan ‘penderitaan’ yang juga dialami oleh teman-teman saya. Tanpa diminta, satu per satu mereka bercerita. Dan sampai akhir hari, saya menemukan bahwa diri saya tak lagi merasa menderita.
Seringkali, saya merasakan bahwa setiap kali menghadapi masalah, maka tak seorang pun akan merasakan apa yang sedang saya rasakan. Sepertinya, saya lah satu-satunya orang yang paling menderita di dunia. Tetapi, kemudian saya akan kembali menemukan bahwa saya tidak sendirian. Masih banyak lagi mereka yang merasakan perih yang sama, bahkan lebih.
Seringkali, setiap saya menyadari adanya kesulitan yang dialami orang lain, energi saya yang tadinya nyaris pupus, malah semakin bertambah. Saya tak boleh lemah, sebab ada orang-orang yang lebih menderita. Saya tak boleh lemah, sebab mereka pun membutuhkan saya. Penderitaan mereka, sahabat-sahabat saya, adalah penderitaan saya juga. Penderitaan saya, rupanya tak seberat yang saya kira….
*vita*
ps. sekedar berbagi, bahwa di balik setiap kesulitan yang kita alami saat ini, ternyata masih banyak lagi orang yang lebih menderita.
--ditulis tgl 25 Oktober 2004--
Tuesday, December 28, 2004
[curhat] Tak Seberat yang Kaukira
4:20 PM
No comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment