Menggenggam pulpen, dengan selembar kertas atau sebuah buku yang terbentang di hadapan, detik atau menit yang lewat tanpa berbuat apa-apa, mengetuk-ngetukkan jari sambil mengerenyitkan kening, serta lintasan-lintasan pikiran yang bolak-balik menahan tangan untuk segera menulis. “Bagaimana memulainya?” “Selanjutnya apa?” atau “Bagaimana cara mengakhirinya?”
Itu semua hampir selalu terjadi pada saya. Walaupun tekad sudah dipatri bulat-bulat, pun niat yang berulang kali mencambuk hati ini untuk segera mewujudkan keinginkan untuk menjadi penulis. Tetap saja produktivitas menulis timbul tenggelam. Layaknya tinta pulpen yang macet tiba-tiba, semangat untuk menulis sesuatu yang tadinya menyala-nyala, seolah padam seketika bila menemui stuck moment. Padahal buku tulis telah terbentang, padahal layar komputer sama-sama memelototi muka saya, seakan lelah menunggu munculnya huruf-huruf yang akan saya ketik. Stuck. Dan hal ini seringkali menenggelamkan segala ide-ide yang padahal baru saja terlintas di kepala. Walhasil, belasan cerpen terlantar tak jelas ending-nya, dan bahkan banyak sekali ide cerita yang muncul tiba-tiba, dituliskan singkat, namun tak berlanjut.
Menghadapi kondisi ini, sekali lagi saya nyaris menyerah untuk meneguhkan mimpi menjadi seorang penulis. Mimpi ya hanya mimpi. Toh tak terkira sudah tulisan saya yang ditolak, ditulis ulang, dibuat baru, dan ditolak lagi, atau tak jelas kabarnya. Bila saat-saat ini terjadi pada tahun-tahun lalu, dan memang terjadi, tentu saya akan cepat-cepat menyudahi mimpi saya itu dan lantas melupakan layaknya sebuah bunga tidur. Tapi apa yang terjadi pada tahun ini, tidaklah sama.
Suatu hari, saya kesal sekali dengan sebuah cerpen yang sedang saya buat. Sebab tiba-tiba saja saya kehilangan ide untuk mengakhiri cerita itu. Padahal telah berlembar-lembar cerpen itu tertulis. Berulang kali dibaca ulang, diperbaiki sana-sini, mencoba mengubah sudut pandang cerita, sambil berharap mendapatkan ide untuk ending cerita, tetap saja gagal. Dan saya jadi begitu malas untuk menulis ide cerpen yang lainnya.
Malamnya, saya sudah melupakan kekesalan saya tersebut. Tiba-tiba saja telepon genggam saya berbunyi. Ada SMS. “Halo, apa kabar? Bln ini banyak lomba cerpen/novel : FLP,depdiknas,lampung,dll. Ayo ikut!” begitu bunyinya. Dari Billy.
Seketika saya langsung ingat cerpen yang membuat saya kesal itu. Bagaimana mau ikut lomba? Orang menyelesaikan satu buah saja susahnya minta ampun! Saya lantas bersungut-sungut, antara kesal sekaligus penasaran ingin ikut lomba.
Di hari yang lain lagi, saya sedang nyaris putus asa dengan cerpen-cerpen yang telah saya kirimkan ke beberapa penerbit dan majalah. Ah, sudahlah. Percuma saja membuat yang baru. Toh yang lama juga tidak ketahuan kabarnya, ditolak atau diterbitkan. Mood menulis pun merosot kembali. Dan hari itu adalah hari Ahad ke sekian saya tak lagi bisa hadir di pertemuan pekanan.
Dua hari kemudian, saya sedang bersiap untuk berangkat ke Bandung guna mengikuti tes editor di salah satu penerbit. Malam hari, telepon genggam saya berbunyi. Secara tak sadar saya melonjak kegirangan selepas membaca isi pesan yang masuk, “Congrats! Cerpennya di ALIA bagus.” Begitu bunyinya. Yang benar saja! Naskah itu sudah hampir setengah tahun lalu saya kirim, dan saya sudah pasrah saja dengan nasibnya. Jadilah dua hari di Bandung itu saya lewati dengan super semangat. Naskah saya dimuat! Walaupun saya belum yakin bila tidak melihatnya sendiri. Kalau tidak diberitahu, saya pun tak lagi berharap-harap dan menengok majalah tersebut. Thanks to Arul!
Mungkin kejadian-kejadian yang saya alami tidaklah begitu istimewa, tapi telah menjadi pompa semangat bagi saya yang nyaris kehilangan mimpi. Entah bagaimana.
Seorang Aan pernah mengatakan, ketika kebetulan
Walaupun sekedar membaca milis (yang kadang isinya tidak saya mengerti), atau menerima SMS penyemangat dari seorang Billy dan Aan, teguran dari mbak Dala supaya terus berkarya dan hadir di pertemuan, atau desakan dari teman-teman dekat saya yang tahu-tahu ingin jadi anggota FLP, entah mungkin karena saya tidak sengaja berpromosi kepada mereka.
Rasanya tidak terlalu banyak pertemuan saya dengan para FLP’ers. Pun saya tidak merasa produktif bahkan seringkali merasa minder terhadap yang lain. Tetapi ternyata, perhatian-perhatian kecil yang saya dapat, serta kenyataan bahwa diri saya telah menjadi anggota FLP, menggoreskan sesuatu. Dan hal itu sedikitnya menghembuskan semangat ketika ia berkali-kali akan surut.
Untuk saat ini, saya mengerti satu hal. Bahwa mimpi hari ini harus menjadi kenyataan esok hari. Seperti kata seorang teman FLP,”Keep the spirit! Terus menulis dan jangan putus asa, coz practice makes perfect!”
*Vita*
[kenangan bersama FLP'ers DKI]
Friday, December 24, 2004
[curhat] Bukan Hanya Mimpi
1:11 AM
1 comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
Keep up the good work what happens if eczema is left untreated How to play a man penis female pubic hair removal prices for laser hair removal lamborghini gallardo specs cod meridia Order mail butalbital Land rover discovery wiper blades contemporary area rugs cosmetic marketing sales Satin care shave gel for dry skin msds Canon minidv mvx10i Experimental hair removal
Post a Comment